Meskipun akhirnya Ali Sadikin tidak terpilih menjadi presiden dan Soeharto tetap menjadi penguasa Orba, pencalonan Ali Sadikin oleh mahasiswa UI tetap menjadi momen penting dalam sejarah politik Indonesia.
Ia menandai perlawanan intelektual dan aspirasi demokrasi yang muncul dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil saat itu.
Munculnya wacana pencalonan ini juga menegaskan posisi Ali sebagai tokoh yang disegani dan dianggap mampu memimpin bangsa meskipun situasi politik saat itu sangat berat.
Bersama AH Nasution dan Hoegeng, Membangun Petisi 50 Melawan Rezim Soeharto
Selepas pensiun sebagai Gubernur Jakarta, pada 1980, Ali Sadikin kian vokal menyuarakan kritik terhadap Pemerintahan Orde Baru.
Bersama tokoh nasional dan purnawirawan militer lainnya, Ali menjadi salah satu inisiator kelahiran Petisi 50. Yakni, sebuah dokumen yang berisi ungkapan keprihatinan atas penggunaan Pancasila oleh Soeharto sebagai alat dalam menekan lawan politiknya.
Lalu petisi ini diikuti oleh 50 tokoh terkemuka Indonesia yang menyuarakan kekhawatiran tentang arah politik Orde Baru yang dinilai menyalahgunakan ideologi negara gunna menguatkan kekuasaan pribadi.
Petisi 50 secara terbuka menuduh Soeharto telah menganggap dirinya sebagai perwujudan Pancasila dan setiap kritik terhadap dirinya dipersepsikan sebagai serangan terhadap ideologi negara.
Baca Juga: Oesin Batfari, Kriminal yang Jalani Eksekusi Hukuman Mati Pertama di Indonesia
Selain Ali Sadikin, Petisi 50 juga diteken mantan KSAD Jenderal Besar Purn AH Nasution, mantan Kapolri Jenderal Pol Purn Hoegeng Imam Santoso, serta tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan.
Keterlibatan Ali Sadikin dalam petisi 50 menandai babak baru dalam karier politiknya sebagai sosok yang berani menghadapi rezim yang dulu pernah didukungnya.
Petisi 50 memicu reaksi keras dari pemerintah dan loyalis Soeharto yang menganggap mereka subversif dan mengancam stabilitas negara.
Istilah Petisi 50 sendiri muncul dari sindiran pejabat pemerintah yang meremehkan para penandatangannya. Meski demikian, keberanian Ali dan para tokoh lainnya dalam menyuarakan penolakan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini menjadi salah satu titik penting dalam sejarah perlawanan sipil dan militer terhadap otoritarianisme di Indonesia.
Baca Juga: Kisah Brutal Neo Nazi Era Kini: 10 Pembunuhan, 15 Perampokan Bank, dan Tiga Serangan Bom
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, meninggal dunia di Gleneagles Hospital di Singapura pada 20 Mei 2008. Ia wafat setelah berjuang melawan penyakit komplikasi yang dideritanya.