• Minggu, 21 Desember 2025

Mengenang Kosasih Kartadiredja, Wasit Indonesia Pertama Berlisensi FIFA yang Anti Suap dan Match Fixing Meski Hidup Pas-pasan

Photo Author
- Minggu, 12 Oktober 2025 | 12:50 WIB
Kisah Kosasih Kartadiredja, wasit legendaris yang lawan match fixing. (YouTube, istimewa)
Kisah Kosasih Kartadiredja, wasit legendaris yang lawan match fixing. (YouTube, istimewa)
 
KONTEKS.CO.ID - Selalu berita buruk yang membuat nama olahraga Indonesia tercemar.
 
Padahal, olahraga seharusnya jadi tempat semua bergabung dalam semangat kebersamaan dan kompetisi yang adil tapi malah dirusak oleh mereka yang mencederai sportivitas.

Pada 2017 lalu, ada delapan pebulutangkis Indonesia yang mendapat sanksi dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) gara-gara terbukti main curang dalam pengaturan hasil laga, atau yang sering disebut match fixing.
 
Kejadian ini terungkap setelah ada orang melaporkan tindakan lancung tersebut.
 
Setelah penyelidikan mendalam dan memakan waktu cukup lama, BWF mengantongi bukti konkret soal rekayasa pertandingan di beberapa ajang besar luar negeri.
 
Antara lain di New Zealand Open tahun 2017, Scottish Open 2015, dan US Open 2017.
 
 
Hasilnya, tiga dari delapan pemain itu diganjar sanksi larangan tampil seumur hidup karena terbukti menjadi dalang match fixing
  
Kasus match fixing di sepak bola Indonesia, akarnya malah lebih dalam. Sebut saja sepak bola 'gajah' dalam pertandingan antara Persebaya vs Persipura pada 21 Februari 1988.
 
Persebaya kalah 0-2 dan kedua tim lolos ke babak enam besar Perserikatan di Jakarta. 
 
Lolosnya Persebaya dan Persipura punya banyak arti. Persebaya yang kekuatan timnya saat itu lebih superior dan bertabur bintang, meskipun kalah, berhasil membalas 'sakit hati'.
 
 
Kekalahan dari Persipura sekaligus menyingkirkan PSIS Semarang yang tahun sebelumnya menaklukkan Persebaya di final Perserikatan.
 
Pun, skor itu mengantarkan Persipura lolos sebagai wakil dari Indonesia timur. Belakangan Persebaya menjadi juara di kompetisi tersebut setelah mengalahkan Persija 3-2 di babak final.
 
Sebelumnya, suap pengaturan skor juga terjadi Sea Games tahun 1980-an. Ada pula mafia wasit di Liga Indonesia 1998, sepak bola gajah Piala Tiger (kini AFF) 1998, pengaturan skor di Liga 2 2021.
 
Lalu kasus Liga 3 Banjarnegara yang bikin heboh. Tim sengaja mengatur skor untuk degradasi atau promosi. 
 
Bahkan pelatih Timnas Indonesia yang tadi malam fix gagal membawa Indonesia ke Piala Dunia, Patrick Kluivert, juga pernah didera dugaan kasus match fixing.
 
Tetapi di tengah kasus match fixing yang merupakan penyakit endemi yang mencoreng nama Indonesia, ada cerita inspiratif dari masa lalu yang bisa menjadi pelajaran.
 

Kosasih Kartadiredja, "King Cobra" Bertubuh Mungil

Kosasih Kartadiredja adalah pria sederhana dari Sukabumi yang lahir pada 13 Agustus 1934.
 
Ia tumbuh dengan memegang erat ajaran ayahnya, Mohammad Saleh Kartadiredja, yang selalu bilang hidup harus jujur walau susah.
 
Hary Tanoesoedibjo menyerahkan KTA Partai Perindo pada Kosasih Kartadiredja, wasit pertama FIFA asal Indonesia. (X @Hary_Tanoe)


Sepak bola, bagi Kosasih, adalah cara berekspresi. Di era 1950-an, Kosasih menjadi pemain sepak bola, sebagai gelandang tangguh.
 
Mulai dari klub lokal seperti Pertiwi, Young Man Association (YMA), Sinar Harapan, hingga Perssi Sukabumi.

Nasib membawanya ke jalur wasit pada 1955, setelah ikut kursus C3 di Sukabumi. Bagi Kosasih Kartadiredja, hal ini kesempatan menjaga keadilan di lapangan yang sering kacau karena intrik.
 
Baca Juga: Pesawat, Fiat, Hingga Limousine dalam Pelarian dan Misi Terakhir Tokoh G30S PKI DN Aidit

Karier Kosasih melejit pada 1965 saat dapat lisensi C1 nasional dari PSSI. Ia mulai memimpin laga-laga besar di seluruh negeri.

Dia mendapat julukan "King Cobra" dari sejumlah media di Asia karena gerakannya lincah seperti ular kobra, sigap awasi setiap sudut lapangan.

Ia dikenal berani dan tak segan mengeluarkan kartu merah ke pemain ganas seperti Rusdi Balawan dari Persebaya atau Simson Rumapasal bek andalan Persija.
 
Baca Juga: Mengenang Sepak Terjang K'tut Tantri, Warga Amerika yang Berjuang di Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Julukan "budak leutik paling berani" cocok buatnya, tubuh kecil tapi hati besar. Di masa itu, tekanan dari penonton dan pemain pasti berat, tapi Kosasih tetap tegar.

Puncaknya tahun 1972, Kosasih Kartadiredja menjadi wasit pertama Indonesia berlisensi FIFA.

Menurut arsip resmi FIFA dari Laporan Studi Teknis turnamen tahun 1979, Kosasih memimpin turnamen kelas dunia yaitu Piala Raja Thailand 1972, Piala Kemerdekaan Vietnam Selatan 1973, Piala Presiden Korea Selatan 1975.
 
Baca Juga: Menyingkap Sejarah Richard Mille, Jam Tangan Ultra Mewah Milik Sahroni yang Sempat Dijarah Warga

Bahkan di Kejuaraan Dunia Remaja FIFA 1979 Jepang, ia menjadi wasit laga dengan Diego Maradona muda.

Kosasih juga menangani pertandingan Timnas vs Benfica, Ajax, Cosmos, Manchester United. Bahkan Kosasih berani mengeluarkan kasih kartu kuning ke pemain MU!
 
Tahun 1972, Kosasih Kartadiredja menjadi wasit pertama Indonesia berlisensi FIFA. (YouTube)
 

Match Fixing, Godaan yang Menguji Intergitas

Namun di balik semua laga gemilang kelas dunia itu, godaan match fixing selalu mengintai Kosasih.
 
 
Terlebih di dunia sepak bola, skenario pengaturan skor untuk keuntungan pribadi, penyuapan bandar judi agar performa bermain jadi jelek, atau wasit curang dalam memimpin pertandingan, adalah godaan yang menguji integritas.
 
Salah satu kasus match fixing yang terkenal dan jadi skandal besar terjadi di Eropa tahun 2013. Saat itu Europol membongkar sekitar 380 pertandingan yang dicurangi, bahkan sampai menyentuh Liga Champions yang prestisius itu.

Di Asia, kasus di Korea Selatan tahun 2011 juga bikin geleng-geleng kepala, dengan 52 pemain terlibat dan akhirnya kena hukuman seumur hidup.
 
Baca Juga: Potret Buram Mayor Sabarudin, Tentara Psikopat Era Kemerdekaan yang Cuma Tunduk pada Tan Malaka

Nah, Indonesia sendiri punya sejarah kelam seperti mafia suap di era Galatama dan Divisi Utama Perserikatan pada 1980-an yang bikin liga semi-profesional waktu itu hancur berantakan.

Melansir Historia pada Jumat, 10 Oktober 2025, match fixing di Indonesia sudah ada sejak era Perserikatan. Cukong judi Tionghoa sering mendekati wasit dan pemain.
 
 
Kosasih Kartadiredja tolak tegas match fixing dan suap meski menggiurkan. (YouTube)

Tetapi Kosasih berbeda. Di mata teman-temannya, Kosasih lebih dari wasit. Ia adalah mata air inspirasi yang menunjukkan bahwa integritas tak terbeli.
 
Baca Juga: Mengenal Riwu Ga si ‘Angalai' Soekarno: Terompet Proklamasi dan Paspampres Pertama Indonesia yang Terlupakan

Kosasih mengingat dengan jelas, gajinya kala itu cuma Rp20 ribu per pertandingan, padahal tawaran suap jutaan rupiah. Itu menggiurkan!

"Banyak dulu mah yang menawarkan uang. Tapi tidak pernah mau saya terima," ceritanya tahun 2019 mengutip Historia.

Godaan dari pengurus PSSI juga ada. Mereka meminta agar Kosasih membantu timnya menang. Tapi Kosasih Kartadiredja tak bergeming, "Hidup itu harus jujur," pesan ayah yang selalu melekat.
 
Baca Juga: Ide Gila Jenderal Prof Moestopo, Bentuk Barisan Pelacur dan Maling Hancurkan Belanda di Era Revolusi Kemerdekaan

Ada cerita, dalam satu pertandingan jelang final Thailand vs Malaysia, utusan seorang penjudi yang bernama Hasan menawari Kosasih USD10 ribu yang dikemas di dalam slop rokok. "Help me, Thailand must not win against Malaysia," kata utusan tersebut.

Kosasih tolak tegas, "Buat apa saya terima uang begitu? Nama baik saya jadi jelek."

Kisah ini dimuat The Straits Times yang membuat reputasinya makin kinclong sebagai wasit anti-suap.
 

Belajar Anti-suap Saat Jadi Inspektur Wasit

Setelah pensiun dari dunia wasit pada 1986, Kosasih jadi inspektur di Komisi Wasit PSSI sampai 1995.
 
Di sini ia belajar memahami alur pengaturan skor. Ia pun memblokir telepon hotel wasit untuk mencegah deal malam, tapi selalu ada saja oknum wasit yang membandel.

"Termasuk kawan saya, Djafar Umar. Maaf ya orangnya sudah meninggal, dia ikut main mafia itu," ceritanya. Kala itu, Djafar kena sanksi seumur hidup 1998 karena mafia wasit.

Kosasih juga pernah menolak suap langsung dari PSBI Blitar berupa amplop Rp5 juta. Ia marah besar kala itu. Prinsipnya, hidup pas-pasan dari keringat sendiri lebih baik daripada makan uang haram!
 
Baca Juga: Menguak Operasi Alpha di Era Orde Baru, Skenario BAIS dan Mossad Beli A-4 Skyhawk Israel untuk Pertahanan Udara Indonesia

Hal ini yang membuat ia memutuskan untuk pensiun dini PNS Pemda Sukabumi pada 1993. Tapi alasannya bukan karena suap. Ia malu menerima gaji karena jarang masuk kerja saking sibuknya kegiatan di PSSI.

"Karena malu akhirnya mengundurkan diri," katanya. Sampai akhir hidupnya, Kosasih tercatat pensiun Golongan III-C.

Kehidupan pribadinya pun hangat. Ia menikah dengan Dede Rokayah dan memiliki punya tujuh anak.
 
Kosasih pernah terserang stroke pada 2012 yang melumpuhkan kakinya, tapi semangat tak pudar.
 
Baca Juga: Mengenal Profesi Gowok, Guru Seksualitas ala Jawa Tradisional: Warisan Leluhur yang Tabu Tapi Dihormati

Atas jasanya, Kosasih mendapat medali Adi Manggalya Krida 2007 dari Kemenpora. Dia juga sempat bergabung dengan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) tahun 2017.

Pada 23 Maret 2022, Kosasih meninggal dunia di Sukabumi. Indonesia pun kehilangan wasit jujur nan legendaris.

Kosasih bukan satu-satunya sosok yang teguh memegang prinsip jujur di lapangan. Di tanah air, ada nama wasit Purwanto dan Jimmy Napitupulu yang juga dikenal sangat tegas dalam menjaga aturan sepak bola di lapangan hijau.***
 
 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Jimmy Radjah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X