Mayat para preman ini tergeletak begitu saja di tengah jalan, di semak-semak, di emperan toko. Namun yang paling sering adalah penemuan mayat di dalam karung.
Umumnya jasad yang tergeletak itu memiliki ciri yang sama yaitu bertato. Tujuannya satu, sebagai shock therapy bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, hampir semua media saat itu ikut sibuk memberitakan mengenai kasus ini. Media massa menampilkan jasad-jasad bertato dengan lubang peluru di kepala, leher, ataupun dada.
Baca Juga: Atletnya Banjir Prestasi, PB Djarum Guyur Bonus Ratusan Juta
Kolaborasi Penguasa-Preman dalam Politik
Sejarah preman dan penguasa sebenarnya tidak selalu berhadap-hadapan. Sebab, kala itu ada adagium bahwa penguasa sendiri adalah 'preman yang legal'.
Dalam beberapa kasus, kerap kali para penguasa juga ikut menggunakan jasa preman dalam permainan politik.
Salah satunya adalah kisah Bathi Mulyono yang merupakan pentolan preman. Ia adalah Ketua Yayasan Fajar Menyingsing, sebuah yayasan yang menghimpun para residivis dan pemuda preman di daerah Jawa Tengah.
Baca Juga: Kisah Nyai Gundik Meneer Belanda, Disayang dan Terbuang
Organisasi ini berdiri atas restu Gubernur Jawa Tengah (kala itu) Soepardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto, dan pengusaha Sutikno Wijoyo. Nama terakhir ini yang kerap disapa Pak Tik merupakan orang dekat mantan Presiden daripada Soeharto.
Dengan bekingan dari para elite Jawa Tengah, Bathi menjalankan sejumlah bisnis di organisasinya, mulai dari jasa broker sampai bisnis lahan parkir di wilayah Jawa Tengah.
Relasi preman dan pejabat politik tak hanya di bidang bisnis. Ada pula kelompok preman sewaan yang menjadi kelompok milisi pada masa kampanye.
Baca Juga: Retret Pelatnas PBSI, Pesan Fadil Imran Bakar Semangat Pelatih, Atlet, dan Pengurus untuk Berlaga demi Negara
Contohnya pada kampanye Pemilu 1982, Bathi cs menjadi salah satu kelompok preman yang disewa oleh parpol tertentu. Mereka bertugas memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada saat itu sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Akibat provokasi dari pihak preman, terjadi kericuhan yang memakan banyak
korban dalam peristiwa Lapangan Banteng.
Sejumlah orang ditangkap dengan tuduhan menjadi provokator. Namun para preman sewaan seperti Bathi dkk tidak tersentuh sama sekali.
Baca Juga: Syarifah Nawawi, Kasih Tak Sampai Tan Malaka Sang Bapak Republik
Malah, Ali Moertopo yang saat itu bertugas di Bakin tertuduh sebgai dalam kerusuhan tersebut. Soeharto memecat Ali dan sejak saat itu ia hilang dari panggung politik nasional.
Memburu Bathi Mulyono
Status Bathi Mulyono sebagai preman yang dekat dengan penguasa dan Ketua Yayasan Fajar Menyingsing tidak membuatnya aman dari para Petrus.
Pada Juli 1983, mendadak dua motor yang melajukencang menyalip mobil Bathi yang sedang melintas di Jalan Kawi, Semarang. Pengendara di dua motor itu lalu menembak kaca mobil Bathi dan 2 peluru menembus mobilnya. Para pemotor langsung pergi begitu saja.
Baca Juga: Tan Malaka Ahli Penyamaran: 22 Tahun dalam Pelarian, 23 Nama Samaran
Beruntung Bathi masih selamat dalam peristiwa ini.
Bathi pun memutuskan lari dan hidup secara nomaden. Ia tidak pernah pulang ke rumahnya meskipun sang istri sedang hamil tua. Sebab, Bathi merasa dirinya akan menjadi buruan para Petrus.
Ia bersembunyi di Gunung Lawu sejak peristiwa penembakan itu. Ia baru turun gunung pada 1985 saat Petrus sudah mereda.
Baca Juga: Perampok Legendaris Kusni Kasdut, Pejuang Kecewa yang Memilih Jalan Dosa
Ada cerita menarik Bathi dalam masa pelariannya. Ia mengalami kejadian tak terlupakan sepanjang hidupnya di kawasan Rembang, Jawa Tengah.
Saat hari sudah gelap, Bathi mencari tumpangan. Mobil bak terbuka berhenti dan sopirnya bersedia membawanya ke arah Blora. Di bak belakang, ada sejumlah karung yang ternyata berisi manusia. Pada jarak tertentu, karung itu diturunkan dan orang-orang yang ada di dalamnya ditembak.
"Saya enggak bisa mengungkapkan bagaimana jeritan mereka, permohonan ampun mereka, yang sedemikian rupa menyayat hati. Saya tahu ternyata karung ini isinya manusia, yang disebut gali atau preman yang akan dieksekusi. Diturunkan dipinggir jalan, dor dor dor..," papar Bathi kepada VoA.
Baca Juga: Menteri Jusuf Muda Dalam: Terlibat Skandal dengan Banyak Perempuan, Koruptor Pertama Indonesia yang Divonis Mati
“Bayangkan, saya target utama. Saya ada di pick up itu, dan disitu ada karung-karung berisi manusia yang harus dieksekusi sepanjang jalan,” tambahnya saat bercerita dalam diskusi terkait Petrus di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah.
Beruntung, para eksekutor malam itu tidak mengenal Bathi.
"Saya menghadapi dengan mata kepala saya sendiri,teman-teman yang dieksekusi. Saya tidak bisa menirukan jeritan, ratapan mereka," ujarnya lagi.
Ultimatum Tanpa Nama, Banyak Salah Sasaran
Tidak semua orang seberuntung Bathi. Ribuan orang lainnya meregang nyawa atau tertangkap.
Operasi pemberantasan kejahatan yang berjalan sejak 1983 memang berhasil menurunkan tingkat kejahatan. Kriminalitas di Yogyakarta dan Semarang mengalami penurunan yang paling drastis.
Karena dinilai berhasil, pemerintah terus menjalankan operasi ini. Intelijen kepolisian menyerahkan daftar orang-orang yang termasuk daftar tersangka kejahatan kepada komandan Garnisun. Militer kemudian menyerukan ultimatum publik kepada semua gali dan preman agar sesegera mungkin menyerahkan diri ke markas Garnisun.
Baca Juga: Pembunuhan Johnny Mangi, Petrus, dan Teror Dahsyat Orde Baru ke Pers Indonesia
Anehnya seruan Garnisun tidak spesifik menyebut nama. Jadi siapa saja yang merasa sebagai gali dan preman harus datang dan menandatangani pernyataan tidak akan melakukan kejahatan.
Tidak munculnya daftar nama secara spesifik ternyata merupakan taktik agar masyarakat sadar akan tindakan mereka dan hati-hati dalam bertindak. Mereka yang merasa sebagai preman bahkan banyak yang putus asa dan menyerahkan diri.
Baca Juga: Gebrakan Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur DKI Kakek Bimbim Slank Bangun Perumahan Murah di Jakarta
Hingga Mei 1983 sebanyak 441 orang telah menyerahkan diri.
Korban Petrus sendiri pada 1983 tercatat 532 orang tewas dan 367 orang terluka karena tembakan. Sedangkan pada 1984 terdapat 107 orang tewas, dan 74 orang lainnya tewas pada 1985.
Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan, total korban Petrus lebih dari 1000 korban dengan puncak tertinggi terjadi pada 1983.
Baca Juga: Mitos Babi Ngepet, Pesugihan Modern yang Lahir dari Kecemburuan Sosial
Artikel Terkait
SDSB: Hikayat Judi Legal di Indonesia di Era Orde Baru, Jejaknya Ada Sejak Zaman Soekarno untuk Bangun Jakarta
Wali Kota Jakpus Sebut Tak Ada Unsur Kriminal Kontes Kecantikan Transgender yang Viral
Istri Mendiang Sandy Permana: Saya Mau Nyawa Dibayar Nyawa
Penembakan Massal di Sekolah, Ulf Kristersson: Ini yang Terburuk Sepanjang Sejarah Swedia!
Penembakan 5 WNI Masih Gelap, Malaysia Justru Arahkan ke Penyelundupan Narkoba dan Senjata