• Minggu, 21 Desember 2025

Kisah Nyai Gundik Meneer Belanda, Disayang dan Terbuang

Photo Author
- Senin, 14 Agustus 2023 | 08:00 WIB
Nyai dan Meneer Belanda yang melahirkan anak Indo dari hasil pergundikan (Dok Arsip Nasional)
Nyai dan Meneer Belanda yang melahirkan anak Indo dari hasil pergundikan (Dok Arsip Nasional)

KONTEKS.CO.ID - Kalimat 'Nyai' masih cukup akrab terdengar di telinga. Berbeda dengan 'gundik' yang jarang terucap. Terlebih di era modern kini.

Membahas Nyai dan Gundik jauh ke belakang, yakni ke zaman kolonial ternyata sangat nestapa. Kalau tak bisa menyebutnya dengan 'kasihan'.

Ya, pada zaman kolonial Nyai dan Gundik merupakan perempuan-perempuan simpanan atau peliharaan para Meneer Belanda.

Baca Juga: Sejarah Piala Eropa atau Euro: Diawali Mimpi Henri Delaunay, Sudah Tiga Kali Ganti Nama

Padahal, di Indonesia Nyai justru tak berkonotasi negatif. Seperti sebutan Nyai untuk istri pengasuh pondok pesantren atau Kyai di Jawa.

Di Kalimantan, Nyai berarti gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan. Sementara itu di Jawa Barat, Nyai adalah sebutan umum untuk wanita dewasa.

Buku 'Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda', dengan penulis Reggie Bay menyebutkan, bahwa gundik adalah masalah klasik yang sudah lazim di Nusantara.

Baca Juga: Menteri Jusuf Muda Dalam: Terlibat Skandal dengan Banyak Perempuan, Koruptor Pertama Indonesia yang Divonis Mati

Reggie Bay mengungkapkan masalah cinta jalur belakang ini di masa penjajahan Belanda di Nusantara. Sejarah mengenai Nyai, perempuan pribumi, Tionghoa, dan Jepang yang hidup bersama lelaki Eropa di masa Hindia Belanda.

Dalam sistem masyarakat feodal masa penjajahan, hubungan pernyaian ibarat memakan buah simalakama, baik bagi tuan putih maupun perempuan pribumi.

Reggie Bay menulis, istilah Nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah ini muncul bertepatan dengan momentum perempuan Bali yang juga menjadi gundik atau perempuan simpanan dari orang-orang Eropa.

Baca Juga: Buronan Legendaris Eddy Sampak: Perampok Tersadis Bunuh 4 Tentara, Buron 22 Tahun, Tertangkap Saat Sudah Jadi Tokoh Agama

Kemudian, Pemerintah Kolonial menerbitkan aturan saat masa-masa pertama mereka menginjakkan kaki di Nusantara.

Pada tahun 1630, Pemerintah Kolonial melarang perempuan-perempuan Belanda datang ke Nusantara.
Mereka hanya memperbolehkan istri-istri petinggi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) saja.

Imbasnya, Batavia penuh dengan pria-pria Belanda dan Eropa kesepian. Akibatnya bisa ditebak,  rumah bordil banyak bermunculan di Batavia sejak abad ke-17 untuk menyalurkan nafsu para pria bule tersebut.

Baca Juga: Pembunuhan Johnny Mangi, Petrus, dan Teror Dahsyat Orde Baru ke Pers Indonesia

Rumah-rumah pemuas nafsu birahi itu bermunculan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa. Di Mangga Besar pengelolaan rumah bordil dilakukan orang-orang Tionghoa dengan sebutan Macau Po. Musababnya, para penjajanya berasal dari Macau.

Setara Istri Tapi Tak Resmi

Seiring berjalannya waktu, para Meneer Belanda ini lebih memilih gundik dari kalangan para pribumi daripada PSK (baca: pelacur).

Pasalnya, para gundik tak hanya sekadar melayani kebutuhan seksual para Meneer, tapi juga mengurus rumah tangga serta mengawasi para pembantu dalam bekerja.

Baca Juga: Tan Malaka Ahli Penyamaran: 22 Tahun dalam Pelarian, 23 Nama Samaran

Meski jadi simpanan para Meneer Belanda, tak sedikit para Nyai mendapatkan cinta dan kasih sayang layaknya suami istri yang sah.

Dari hubungan itu lahir keturunan-keturunan Indo Belanda. Namun, perlakuan VOC terhadap keturunan Indo-Belanda sangat diskriminatif. Anak laki-laki Indo-Belanda tidak bisa berkarier layaknya orang Belanda asli.

Memang mereka bisa jadi pegawai VOC, tetapi hanya sebatas tenaga militer atau juru tulis saja alias pangkat rendahan.

Baca Juga: Gaya Bisnis Starbucks, Praktik Bank Berkedok Gerai Kopi yang Menakutkan Industri Perbankan Dunia

Sementara, anak-anak perempuan Indo mengalami nasib yang tak kalah buruk. Bahkan, anak-anak perempuan Indo banyak jadi PSK di rumah-rumah bordil milik orang Tionghoa.

Nyai Dasima

Nama Nyai Dasima adalah tokoh yang hidup di antara fakta dan fiksi. Sebagian orang menganggapnya benar-benar nyata, sedangkan yang lain meragukan.

-
Nyai Dasima yang pernah menjadi gundik Meneer Belanda (Dok Arsip Nasional)

Menukil buku "Kisah-kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe" karya Zaenudin HM, tertulis bahwa Nyai Dasima lahir di Desa Kuripan, Bogor, Jawa Barat.

Baca Juga: Syarifah Nawawi, Kasih Tak Sampai Tan Malaka Sang Bapak Republik

Ketika besar, Dasima mengadu nasib ke Batavia dan bekerja dengan seorang pria Inggris kaya raya bernama Edward William. Tuannya ini ini adalah orang kepercayaan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.

Kecantikan Dasima membuat Edward jatuh cinta dan menjadikannya gundik. Edward dan Dasima awalnya menetap di Curug, Tangerang. Kemudian mereka pindah ke kawasan Gambir di Batavia.

Suatu hari, Dasima berjalan-jalan di sekitar Senen. Seorang kusir delman bernama Samiun terpesona dengan kecantikannya.

Baca Juga: Perampok Legendaris Kusni Kasdut, Pejuang Kecewa yang Memilih Jalan Dosa

Samiun yang sudah beristri itu lantas bersiasat licik merebut Nyai Dasima dari Edward. Samiun pun kemudian mengguna-guna Dasima.

Nyai Dasima berubah, Samiun di matanya adalah pria tertampan di Batavia yang tak sebanding dengan Edward yang tak lebih dari seorang lelaki tua.

Dasima dan Samiun pun menikah. Saat itu Nyai Dasima memiliki harta 6000 Gulden. Tapi, setelah uangnya habis dikuras Samiun yang gemar berjudi, Dasima kemudian disia-siakan.

Baca Juga: GANEFO, Olimpiade Ciptaan Soekarno yang Kontroversial, Bukti Ada Politik dalam Olahraga

Dasima akhirnya dibunuh oleh orang suruhan Hayati, istri pertama Samiun. Mayatnya ditemukan di Kali Ciliwung.

Kisah tentang Nyai Dasima ini juga terdapat dalam buku karangan Gijsbert Francis yang terbit pada tahun 1896. Di layar kaca, kisah Nyai Dasima juga jadi sinetron.

Nyi Itih

Seorang perempuan berasal dari Cigugur Tengah, Kota Cimahi bernama Itih.

Baca Juga: 160 Tahun Louis Vuitton, Brand Termahal di Dunia yang Berawal dari Koper Ciptaan Gelandangan

Itih menjadi gundik pria Belanda bernama Wilem Walraven pada tahun 1919 yang merupakan anggota Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).

Pria kelahiran 1887 itu datang ke Hindia Belanda bergabung dengan KNIL.

-

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kasim Lopi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X