• Minggu, 21 Desember 2025

Penembak Misterius, Hikayat Nyawa Murah di Era Rezim Orba Atas Nama Ketertiban

Photo Author
- Minggu, 27 Agustus 2023 | 16:48 WIB
Mayat korban Penembak Misterius (Petrus) di RS Cipto Mangungkusumo, Jakarta. Operasi Petrus berlangsung 1982-1985 dan memakan korban hingga lebih dari 1000 orang preman dan gali. (Foto: Dokumentasi Tempo).
Mayat korban Penembak Misterius (Petrus) di RS Cipto Mangungkusumo, Jakarta. Operasi Petrus berlangsung 1982-1985 dan memakan korban hingga lebih dari 1000 orang preman dan gali. (Foto: Dokumentasi Tempo).

KONTEKS.CO.ID - Beberapa tahun belakangan ini heboh aksi begal di banyak wilayah di Indonesia. Di Yogyakarta, misalnya, aksi begal terkenal dengan istilah klithih. Aksi yang sama juga kerap terdengar di Bandung.

Bukan cuma mengambil barang milik korban, para begal ini tidak segan-segan melukai hingga membunuh para korbannya.

Laman bombastis.com mencatat setidaknya ada lima daerah di Indonesia yang marak aksi begal. Lima daerah yang tenar dengan kesadisan para begalnya adalah Lampung, Makasar, Depok, Tangerang, dan Pasuruan.

Baca Juga: Kisah Kelam Isaac Newton, Jenius Sains yang Pernah Gagal dalam Investasi Saham

Aksi begal di berbagai wilayah ini sudah memakan banyak korban. Eksesnya adalah muncul efek ketakutan di masyarakat.

Selain itu, muncul pula rasa tidak percaya atas kemampuan aparat negara dalam menjaga keamanan masyarakat. Tak heran sering terjadi masyarakat yang memberi hukuman sadis di tempat terhadap para pelaku begal atau pelaku kriminal lain yang tertangkap.

Beberapa puluh tahun lalu, tepatnya saat rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, berbagai tindak kejahatan sadis juga terjadi di tengah masyarakat.

Baca Juga: Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin

Kriminalitas di kota besar, kota-kota satelit, hingga sudut-sudut kota kecil di Indonesia, marak terjadi. Para gali atau preman kerap melakukan pemerasan dan perampokan sehingga meresahkan masyarakat sejak akhir 1970-an hingga awal 1980an.

David Bourchier dalam Crime, Law, and State Authority in Indonesia, menyebutkan bahwa permasalahan munculnya preman dan gali di pinggiran kota merupakan kesalahan rezim Orba itu sendiri. Sistem ekonomi dan tata kelola finansial yang buruk membuat Rezim Orde Baru terjebak dalam krisis ekonomi.

Akibatnya, banyak masyarakat terjebak dalam kemiskinan. Ini kemudian membuat para preman dan gali melihat bahwa kejahatan merupakan jalan satu-satunya untuk keluar—atau sekadar bertahan—di tengah gempuran kemiskinan.

Baca Juga: Lagu Malam Kudus, Lahir dari Letusan Gunung Tambora dan Orgel yang Rusak

Ciri Simpel Penjahat Versi Orba

Akibat dari meningkatnya kriminalitas di masyarakat, di masa pemerintahan Presiden daripada Soeharto, ada 'kebijakan' sadis yang membuat nyawa menjadi berharga murah. 'Kebijakan' penembak misterius atau Petrus bisa dibilang penuh pro-kontra, bahkan sampai saat ini.

Buat sebagian kalangan, setidaknya ada tiga peristiwa di era rezim Orba yang masuk kategori mencekam. Pertama adalah pembersihan unsur-unsur komunis yang kabarnya memakan korban hingga 1 juta jiwa. Kedua saat pemerintah menjalankan kebijakan Petrus, dan terakhir adalah era penculikan aktivis prodemokrasi pada tahun 1997-1998.

Petrus adalah bagian dari operasi pemberantasan kejahatan operasi yang menyasar orang-orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal, khususnya preman atau para begal.

Baca Juga: Mikhail Kalashnikov, Pencipta Senapan Serbu 'Sejuta umat' AK-47 yang Merasa Berdosa di Akhir Hidupnya

Pertanyaannya, bagaimana cara mengidentifikasi seseorang preman atau bukan? Apakah ada data valid mengenai cacatan kriminal seseorang? Apakah orang itu tertangkap basah sedengan melakukan kriminalitas?

Simplisitas adalah kata kunci ala Orba dalam mengidentifikasi preman. Cukup dengan tampilan fisik berambut gondrong, badan bertato, dan punya bekas luka, maka orang tersebut masuk kriteria 'dicurigai' sebagai preman.

Untuk memahami Petrus, kita harus memahami dulu mengenai mindset pemerintahan Orba yang sangat berbeda dengan Orla. Setelah menggulung komunis dan antek-anteknya dari Indonesia, rezim Orba menunjukkan perubahan drastis.

Baca Juga: Sakiko Kanase, Istri Jepang Soekarno yang Bunuh Diri di Kamar Mandi Karena Cemburu

Saat mendapatkan kekuasaan dari pemerintah sebelumnya, Orba mewarisi krisis ekonomi terparah dalam sejarah. Ini belum termasuk isu-isu separatisme di banyak wilayah dan berbagai masalah lain.

-
Salah seorang mayat korban Petrus yang tergeletak di pinggir jalan dengan kondisi tangan terikat. (Foto: Watchdoc Documentary)

Mantra Bernama Stabilitas

Menghadapi semua ini, Orba berusaha menciptakan stabilitas dan kesejahteraan. Segala cara dilakukan agar dua hal ini tercapai, termasuk mengorbankan kebebasan individual demi kepentingan bersama.

Tujuan utamanya adalah menciptakan stabilitas sebagai landasan pertumbuhan ekonomi. Stabilitas dan pembangunan ini kemudian meningkatkan jumlah pendatang di kota-kota besar untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga: GANEFO, Olimpiade Ciptaan Soekarno yang Kontroversial, Bukti Ada Politik dalam Olahraga

Sayangnya banyak di antara mereka yang kurang beruntung. Orang-orang yang kurang beruntung ini akhirnya mencari jalan lain untuk tetap bertahan hidup, salah satunya dengan melakukan tindakan kriminal.

Tidak heran di awal 1980an kriminalitas seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan mulai meningkat drastis di sejumlah kota besar.

Pada Maret 1982, Presiden daripada Soeharto dalam sebuah rapat meminta kepada ABRI dan Polri untuk mengambil langkah efektif dalam menekan tingginya kriminalitas. Soeharto kembali mengulang permintaannya pada 16 Sgustus 1982.

Baca Juga: Kritik Itu Haram, Bisa Jadi Serangan dan Bui! Begini Cara Rezim Orba Menghukum Para Pengkritik

Dalam sebuah rapat koordinasi pada Januari 1993, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengambil keputusan menggelar "Operasi Clurit" di seluruh provinsi.

Awalnya Hanya Mendata

Dandim 0734 Yogyakarta Letkol M Hasbi adalah penguasa militer wilayah yang pertama kali memulai operasi pemberantasan kejahatan pada Maret 1983.

Pada awalnya operasi ini hanya untuk mendata para mantan pelaku kriminal yang menyerahkan diri. Namun operasi ini justru berkembang jauh lebih mengerikan dari hanya sekadar mendata.

Baca Juga: Hukum di Masa Rezim Orba: Nestapa Sengkon Karta, Divonis Tanpa Bersalah Lalu Menderita Sampai Meninggal

Mereka yang bertugas sebagai eksekutor lapangan tidak segan menembak mati siapa saja yang mereka anggap sebagai sampah masyarakat.

Secara terbuka Letkol Hasbi mengakui hal itu. "Landasan hukumnya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat," kata Hasbi di Kompas edisi 15 April 1983.

-
Berita di Harian 'Kompas', 6 April 1983, tentang satu kasus penembakan lima orang yang disebut 'gali' atau preman di Yogyakarta.

Baca Juga: Doktrin Politik Rezim Orba Melalui Film Horor dan Keruntuhan Film Indonesia Lewat Monopoli Bioskop

Akhirnya operasi itu berlanjut ke berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Ada beragam cara dan strategi untuk 'mengambil' para gali dan preman, yakni menculik, menjebak dengan umpan teman si preman itu sendiri, atau memanggil preman ke kantor polisi.

Uniknya, preman yang mendekam di tahanan pun tidak otomatis aman. Kerap terjadi serombongan orang menjemput tahanan dari dalam sel lalu mengeksekusinya.

Baca Juga: Sejarah Piala Eropa atau Euro: Diawali Mimpi Henri Delaunay, Sudah Tiga Kali Ganti Nama

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Jimmy Radjah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X