• Minggu, 21 Desember 2025

Pendisiplinan Kepala ala Rezim Orba, Dari Razia Rambut Gondrong Berujung Maut Hingga Tak Boleh Punya KTP

Photo Author
- Senin, 21 Agustus 2023 | 08:00 WIB
Rambut gondrong, pakaian yang nyentrik, hidup yang santai sering memberikan gambaran selintas yang keliru kepada masyarakat tentang Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (IKJ). Beberapa mahasiswa LPKJ sedang bersantai di kampus mereka, Senin (23/6/1975). (Foto: Dokumentasi Kompas)
Rambut gondrong, pakaian yang nyentrik, hidup yang santai sering memberikan gambaran selintas yang keliru kepada masyarakat tentang Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (IKJ). Beberapa mahasiswa LPKJ sedang bersantai di kampus mereka, Senin (23/6/1975). (Foto: Dokumentasi Kompas)

Baca Juga: Doktrin Politik Rezim Orba Melalui Film Horor dan Keruntuhan Film Indonesia Lewat Monopoli Bioskop


Razia rambut gondrong ini memicu ketegangan antar mahasiswa dan para taruna Akabri Kepolisian. Mahasiswa sering mengejek para polisi dengan sebutan "Prit Jigo" untuk menyindir oknum polisi yang berperilaku korup.

Para pimpinan di ITB berupaya mendinginkan suasana tegang dan panas ini. Setelah berkonsultasi dengan pimpinan kepolisian di kota Bandung, tercapai kesepakatan untuk mendamaikan mahasiswa dan para taruna dengan menggelar pertandingan sepak bola persahabatan di lapangan ITB.

Pertandingan persahabatan itu diselenggarakan pada 6 Oktober 1970. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, para taruna dan pembinanya tidak boleh membawa senpi ke dalam kampus. Kedua tim saling berhadapan lengkap dengan suporter masing-masing.

Baca Juga: Politik Identitas Rezim Orba Terhadap Umat Islam, Dari Penculikan Hingga Larangan Jilbab

Teriakan dukungan dan saling ejek antarsuporter pun tak terhindarkan, terlebih tatkala tim ITB terlebih dulu mencetak gol. Saling ejek berlanjut hingga perkelahian antara dua kelompok suporter.

Penyelenggaran mengambil tindakan cepat dengan menghentikan pertandingan. Tim sepak bola taruna keluar melalui pintu belakang kampus, sementara tim suporter taruna menunggu bus polisi yang akan membawa mereka keluar dari kampus ITB melalui gerbang depan.

Rene Tewas, Sivitas ITB Bergerak

Rene Louis Conrad, mahasiswa Elektro ITB berbadan tinggi besar, saat itu tengah melaju dengan motor besarnya. Ia berpapasan dengan bus kedua taruna polisi di Jalan Ganesha.

Baca Juga: Pendisiplinan Kepala ala Rezim Orba, Dari Razia Rambut Gondrong Berujung Maut Hingga Tak Boleh Punya KTP 

Kabarnya ada taruna yang meludahi Rene sehingga mahasiswa tampan berwajah Indo itu berhenti. Ia mendatangi bus yang masih bergerak pelan karena ada kerumunan mahasiswa yang berjalan kaki.

Adu mulut terjadi antara Rene dan para penumpang bus itu. Rene kemudian dihajar dan menjadi bulan-bulanan para taruna. tiba-tiba terdengar suara tembakan, dan Rene jatuh terkapar di tepi jalan. Tak jelas, para taruna atau Brimob pengawal yang menembak Rene.

Para polisi mengangkat dan memasukkan tubuh Rene ke salah satu bak truk pasukan Brimob lalu membawanya pergi.

Baca Juga: Perampok Legendaris Kusni Kasdut, Pejuang Kecewa yang Memilih Jalan Dosa

Isu penculikan dan pembunuhan Rene menyebar di kalangan mahasiswa. Isu itu memicu suasana yang kian tidak menentu dan berpotensi rusuh.

Menjelang maghrib, Gubernur Jabar Solihin GP, Kapolda Jabar, dan Rektor ITB Doddy Achdiat Tisna Amidjaja berkumpul di gerbang depan ITB untuk menenangkan mahasiswa yang marah.

Malam harinya muncul berita bahwa Rene telah meninggal dan mayatnya ada di komplek Kepolisian Komtabes Bandung. Mahasiswa menjemput jenazah Rene dan menyemayamkannya di Aula Barat ITB.

Baca Juga: 160 Tahun Louis Vuitton, Brand Termahal di Dunia yang Berawal dari Koper Ciptaan Gelandangan

Keesokan harinya suasana memanas. Puluhan ribu mahasiswa dan pelajar Bandung berdemonstrasi mengecam pembunuhan Rene. Bahkan ada perintah agar polisi tidak ke jalan hari itu.

Pada 9 Oktober 1970 mahasiswa menggelar apel suci di kampus ITB untuk melepas jenazah Rene Conrad kepada keluarganya.

-
Ribuan mahasiswa dan ITB dan pemuda Bandung mengantar jenazah almarhum Rene Louis Conrad di jalan Wolter Monginsidi, Bandung, pada 9 Oktober 1970. (Foto: Istimewa)

Kambing Hitam Bernama Djani

Kondisi tegang di Bandung bahkan sudah mengarah ke krisis. Para mahasiswa semakin marah dan menuntut penuntasan kasus penembakan Rene. Rektor ITB sampai harus menggelar rapat akbar di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah ITB guna meredakan amarah sivitas akademika ITB.

Baca Juga: Tan Malaka Ahli Penyamaran: 22 Tahun dalam Pelarian, 23 Nama Samaran


Dalam pertemuan itu, terungkap aksi teror oleh sekelompok orang yang dianggap pro polisi. Pembantu Rektor urusan kemahasiswaan, Wiranto Arismunandar, menugaskan sejumlah dosen untuk piket menjaga kampus. Terlebih, memang ada aksi demo di depan ITB yang mendukung polisi dan mengecam mahasiswa yang sebagai orang yang tidak taat hukum.

Tindak lanjut dari rapat akbar ITB adalah pembentukan panitia ad-hoc ITB untuk HAM. Sejumlah tokoh pegiat HAM seperti Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, dan Suardi Tasrif mendukung langkah itu.

Belakangan polisi bernama Djani Maman Surjaman menjadi terdakwa pembunuhan Rene. Mahasiswa dan khalayak menganggap itu hal aneh karena berbagai kesaksinya menyebutkan pelakunya adalah para taruna.

Baca Juga: Syarifah Nawawi, Kasih Tak Sampai Tan Malaka Sang Bapak Republik

Tak pelak, selama persidangan sivitas akademika ITB malah menunjukkan dukungan kepada terdakwa. Majelis hakim akhirnya memvonis terdakwa 18 bulan penjara karena "kealpaan yang menyebabkan kematian Rene Louis Conrad".

Dalam otobiografinya yang berjudul "Polisi Idaman dan Kenyataan" terbitan 1993, Hoegeng mengakui bahwa pengeroyok dan penembak Rene adalah para taruna. "Kesalahan berat dalam kasus perkelahian itu adalah digunakannya senjata api, tentunya oleh salah seorang taruna. Saya sendiri merasa malu," kata Hoegeng dalam bukunya.

Gondrong Tak Boleh Masuk TV

Stigma gondrong identik dengan pelaku kriminal juga terjadi melalui media massa, televisi, dan film pada awal tahun 1970-an. Film-film di masa itu kerap menggambarkan penjahat dengan ciri khas berambut gondrong.

Baca Juga: Gaya Bisnis Starbucks, Praktik Bank Berkedok Gerai Kopi yang Menakutkan Industri Perbankan Dunia


Pemberitaan dan kartun di koran pun menstigma gondrong adalah penjahat. Artis-artis berambut gondrong tak boleh masuk televisi, yang saat itu hanya TVRI.

Pemerintah Orde Baru bahkan melarang warga berambut gondrong. Pada 1971, TVRI mencekal para seniman berambut gondrong. Mereka dilarang tampil di stasiun televisi milik pemerintah itu.

Selain Remy Sylado, yang pernah kena getah adalah Sophan Sophiaan, Broery Marantika, Trio Bimbo, WS Rendra, Umar Kayam, juga Ireng Maulana dan Taufiq Ismail.

Baca Juga: Kisah Nyai Gundik Meneer Belanda, Disayang dan Terbuang

Tak kurang Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dalam acara "Bincang-bincang di TVRI" pada 1 Oktober 1973, terang-terangan menyatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschilling atau acuh tak acuh. Ini memancing dan meningkatkan angka kriminalitas di Indonesia.

-
Artikel di salah satu koran tentang tidak boleh tampil gondrong di TVRI. (Foto: koleksi Perpustakaan Nasional).

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Jimmy Radjah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X