kontekstory

Tan Malaka Pernah Hampir Jadi Presiden Indonesia, Ditolak Hatta, Malah Dapat Tudingan Makar

Rabu, 30 Agustus 2023 | 08:00 WIB
Dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945, Soekarno menyampaikan jika dirinya ditangkap, maka Tan Makak menjadi penggantinya sebagai pemimpin Republik. (Foto: Tangkapan layar Youtube Indonesia Insider)

Baca Juga: Ekonomi di Rezim Orba: Cuan Tipis di Freeport, Swasembada Tapi Impor, Mobnas Gagal, KKN Merajalela

Soekarno mengatakan, jika pasukan Sekutu menangkap dirinya dan Hatta, maka pimpinan revolusi akan ia serahkan kepada seseorang yang mahir dalam revolusi. Tan Malaka lah yang dimaksud Soekarno.

Kemudian Soekarno menceritakan niatnya itu kepada wakilnya, Muhammad Hatta. Alih-alih menerima usulan itu, Bung Hatta menolak rencana Soekarno.

Hatta malah mengusulkan agar tongkat revolusi diteruskan kepada pemimpin dari empat perwakilan. Hatta kemudian memasukkan tiga nama tambahan.

Baca Juga: Doktrin Politik Rezim Orba Melalui Film Horor dan Keruntuhan Film Indonesia Lewat Monopoli Bioskop

Ketiga nama itu adalah Sutan Sjahrir mewakili kelompok kiri tengah dan Wongsonegoro mewakili kelompok kanan dan golongan feodal. Satu nama lagi adalah Sukiman yang mewakili kelompok Islam.

Hatta menolak jika kepemimpinan nasional dipegang oleh Tan Malaka sendirian. Ia bahkan mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri kepada rakyat, hal itu juga bertujuan untuk mengukur seberapa besar pengaruh Tan Malaka.

Tan kemudian berkeliling Jawa. Selalu perjalanan, Tan selalu membawa amplop yang berisi wasiat politik itu. Dia juga membawa teks Proklamasi asli yang diketik Sayuti Melik. Soekarno memberinya satu paket.

Baca Juga: Politik Identitas Rezim Orba Terhadap Umat Islam, Dari Penculikan Hingga Larangan Jilbab

Tudingan Makar

Namun ironisnya, hanya berselang enam bulan setelah Soekarno mengeluarkan testamen politik itu, pemerintahan PM Sutan Sjahrir malah menangkap Tan Malaka.

Tan bersama para pengikutnya yaitu Soekarni, Chairul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno tertangkap di Madiun pada 17 Maret 1946.

"Pak, kita mendapat perintah mengambil Bapak malam ini," kata aparat seperti dalam cuplikan film dokumenter Tan Malaka karya Erik Wirawan yang tayang pada 2008.

Baca Juga: Pendisiplinan Kepala ala Rezim Orba, Dari Razia Rambut Gondrong Berujung Maut Hingga Tak Boleh Punya KTP

"Kalau mau membawa dan membunuh saya supaya minta izin kepada Presiden Soekarno," kata Tan.

"Saya hanya menjalankan perintah untuk membawa Bapak," kata aparat lagi.

Pemerintahan PM Sjahrir menuding Tan dan kawan-kawannya akan melakukan makar. Padahal sebenarnya mereka adalah oposisi yang menolak kebijakan Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Tan menilai ketiga Bapak Republik itu mengedepankan politik perundingan daripada perlawanan frontal kepada Belanda dan sekutu.

Baca Juga: Perampok Legendaris Kusni Kasdut, Pejuang Kecewa yang Memilih Jalan Dosa

Ada pernyataan Tan Malaka yang sangat terkenal terkait pendiriannya, yakni 'tuan tumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya'.

Belakangan terbongkar bahwa penahanan Tan adalah pesanan Sekutu. Tujuannya agar perundingan berjalan lancar tanpa ada gangguan dari Tan dan para pengikutnya.

-
Tan Malaka dan Jenderal Sudirman sebagai konsep tepat Dwi Tunggal. (Foto: Tangkapan layar Youtube Indonesia Insider)

Dwi Tunggal Tan Malaka - Jenderal Sudirman

Panglima Besar Sudirman sendiri sepakat dengan pemikiran Tan Malaka yang tidak setuju dengan jalan diplomasi perundingan.

Baca Juga: 160 Tahun Louis Vuitton, Brand Termahal di Dunia yang Berawal dari Koper Ciptaan Gelandangan

Adam Malik bahkan menyebut Tan Malaka dan Sudirman sebagai Dwi Tunggal. Menurutnya, selain Soekarno-Hatta dan Sutan Sjahrir-Amir Syarifudin, Tan Malaka dan Sudirman adalah kolaborasi dwi tunggal yang memiliki basis kekuatan para pemuda radikal.

Tan kemudian bebas dari penjara pada September 1948. Pada 19 Desember 1948, pasukan Belanda berhasil menguasai kota Yogyakarta dan menangkap Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Soekarno-Hatta

Pemikiran Tan ternyata benar adanya. Belanda berkhianat. Tidak ada gunanya perundingan. Ucapan Tan yang tersohor "tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya" terbukti. Belanda melanggar kesepakatan perjanjian Renville.

Baca Juga: Tan Malaka Ahli Penyamaran: 22 Tahun dalam Pelarian, 23 Nama Samaran

Jika Hatta tidak menolak testamen Soekarno yang meminta Tan Malaka memimpin revolusi, setelah Soekarno-Hatta tertangkap maka Tan Malaka lah yang menjadi presiden.

Soekarno-Hatta Anak Ingusan

Hatta dan Sjahrir memang selalu bertentangan dengan pemikiran Tan Malaka. Padahal, ketiga Bapak Bangsa ini sama-sama berasal dari suku Minangkabau.

Namun ideologi mereka tak pernah sejalan. Itulah sebab mengapa Hatta tidak mau menyerahkan kepemimpinan kepada Tan Malaka.

Baca Juga: Syarifah Nawawi, Kasih Tak Sampai Tan Malaka Sang Bapak Republik

Menurut Anwar B, bekas wartawan Antara yang menjadi sekretaris pribadi Adam Malik, Hatta dan Tan sudah lama seperti musuh.

Kepada Anwar B, Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan Malaka. "Dia selalu menganggap Soekarno-Hatta sebagai anak ingusan," begitu kata Hatta tentang Tan.

Setelah Indonesia merdeka, kabarnya Hatta pernah menawari Tan ikut dalam pemerintahan, tetapi Tan menolak. Dia menjawab bahwa Soekarno Hatta sudah tepat. "Saya bantu dari belakang saja," kata Tan.

Baca Juga: Gaya Bisnis Starbucks, Praktik Bank Berkedok Gerai Kopi yang Menakutkan Industri Perbankan Dunia

-

Bung Hatta saat menyapa rakyat. Sumber Foto: Tangkapan Layar/Youtube Indonesia Insider

Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda. Faktanya, Tan memang lebih tua lima tahun dari Hatta. Ia juga lebih dulu belajar ke negeri Belanda dan menjadi aktivis politik di negeri kincir angin itu.

Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir. Sjahrir gencar mengampanyekan politik diplomasi dan perundingan dengan Belanda. Sedangkan Tan Malaka sangat membenci perundingan.

Halaman:

Tags

Terkini