• Minggu, 21 Desember 2025

Ekonomi di Rezim Orba: Cuan Tipis di Freeport, Swasembada Tapi Impor, Mobnas Gagal, KKN Merajalela

Photo Author
- Kamis, 24 Agustus 2023 | 08:00 WIB
Presiden Soeharto pernah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Masa kepemimpinannya dikenal dengan nama Orde Baru menggantikan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno. Foto: hmsoeharto.id
Presiden Soeharto pernah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Masa kepemimpinannya dikenal dengan nama Orde Baru menggantikan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno. Foto: hmsoeharto.id

KONTEKS.CO.ID - Ekonomi di rezim Orba. Beberapa tahun pasca-runtuhnya Orde Lama (Orla), Presiden dari pada Soeharto mendapat julukan Bapak Pembangunan karena dianggap berhasil memajukan Indonesia dengan sentuhan "Midas"nya.

Tetapi di balik itu semua, ada banyak masalah akibat kekeliruan kebijakan ekonomi Orba alias Orde Baru. Di antaranya konsensi tambang Freeport yang hanya memberikan secuil cuan untuk negara, program mobil nasional yang gagal, dan rontoknya swasembada pangan.

Kiprah Soeharto memoles ekonomi Indonesia terjadi sejak kekuasaan negara resmi ia pegang pada 22 Februari 1967.

Baca Juga: Kisah Kelam Isaac Newton, Jenius Sains yang Pernah Gagal dalam Investasi Saham

Di tangan Soeharto, perekonomian Indonesia pernah mencatatkan level pertumbuhan ekonomi tertingginya pada 1968. Ekonomi rakyat tumbuh meroket hingga 10,92%.

Sayangnya, torehan emas itu terkubur tinta hitam pada pengujung kekuasaannya. Pertumbuhan ekonomi terjun bebas hingga minus 13,13%. Angka pertumbuhan ini juga akhirnya tercatat sebagai yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Pada awal kepemimpinannya, The Smilling General itu juga sanggup menekan angka kemiskinan.

Baca Juga: Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin

Saat Orde Baru berawal, tingkat kemiskinan tembus 60%. Perlahan tapi pasti, jumlahnya terus berkurang. Menginjak 30 tahun berkuasa, tepatnya pada 1996, data BPS menyebut angka kemiskinan berhasil terpangkas menjadi 11%.

Namun lagi-lagi catatan apik ini kembali terkubur. Jumlah warga miskin kembali naik menjadi 24,2% saat krisis Asia melanda satu tahun kemudian.

Bicara perekonomian secara nasional, dia berhasil mengendalikan dan bahkan melesat tinggi. Ini membuat Indonesia sempat disebut sebagai Macan Asia.

Baca Juga: Paradoks Luhut Panjaitan: Tak Pernah Telat Naik Pangkat, Namun 'Nangis' di Jabatan

Sebutan yang juga tersemat dengan negara-negara seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Perbedaannya ketiga negara tersebut berstatus negara maju, sedangkan Indonesia terjebak dengan sebutan "berkembang".

Investasi, Upaya Kerek Pertumbuhan Ekonomi

Ingin cepat bangkit, Orba membuat langkah strategis pertama dengan membuka diri terhadap kehadiran investasi asing.

Sadar akan kondisi, Soeharto berfokus pada pembangunan ekonomi sehingga perlu berhubungan dengan dunia Barat. Hubungan harus terbangun dari awal lagi.

Baca Juga: Kisah Dualisme Merek Roti Legendaris Tan Ek Tjoan (1)

Era keterbukaan investasi memungkinkan membanjirnya dana bantuan asing untuk membangkitkan Indonesia.

-
Presiden Soeharto saat menerima perwakilan negara Timur Tengah. Dia membuka keran investasi untuk menggerakan ekonomi. Foto: hmsoeharto.id

Hasilnya, belum sebulan berkuasa menggantikan Soekarno, Freeport masuk ke Papua. Perusahaan itu meneken kontrak kerja sama dengan pemerintah untuk melakukan kegiatan penambangan di Papua.

Freeport Indonesia pun tercatat sebagai perusahaan asing pertama yang masuk ke Papua ketika perekonomian Indonesia tak stabil, bahkan cenderung buruk.

Baca Juga: Barisan Terate, Pasukan Khusus Pelacur dan Maling Penghancur Daya Tempur Belanda

Soeharto pun memuji Freeport dengan mengatakan ini merupakan pelopor penanaman modal asing di Indonesia. Usaha ini menggambarkan kepercayaan dunia terhadap Indonesia dalam membangun masa depannya.

Masuknya raksasa tambang dunia itu merangsang datangnya investor-investor lain ke Tanah Air.

USAID mencatat, per September 1972, pada rentang waktu 1967-1971, pemerintah sudah berhasil menarik masuk 428 investor asing. Mereka berinvestasi hingga USD1,6 miliar, di luar sektor minyak bumi. Nilai yang besar saat itu.

Baca Juga: Dua Dunia Ratmi B29: Veteran Perang Peraih Bintang Gerilya Hingga Ratu Panggung Hiburan

Ekonomi di Rezim Orba: Cuan Tipis di Freeport

Kehadiran perusahaan raksasa Amerika itu ternyata sempat berkonflik dengan warga setempat. Khususnya Suku Amungme.

Sementara dari sisi pendapatan, dalam kontrak karya (KK) pertama, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport hanya 1,5% dari harga jual jika harga tembaga kurang dari USD0,9/pound.

-
Freeport memulai produksi pada tahun 1972. Foto: Freeport Indonesia

Royalti bisa mencapai 3,5% dari harga jual dengan catatan harganya USD1,1/pound. Sedangkan royalti untuk emas dan perak hanya 1% dari harga jual.

Baca Juga: Kisah Gusti Nurul, Kembang Mangkunegara Pujaan Tentara, Sultan, Hingga Perdana Menteri dan Presiden

Terakhir, pemerintah Soeharto pada 1991 mengizinkan Freeport untuk tetap mengeksplorasi Papua dengan jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga 2021. Mereka mendapatkan hak perpanjangan sampai 2 kali 10 tahun.

Di samping rekonsiliasi dengan Barat, Presiden Soeharto juga menempuh kebijakan kembali masuk menjadi anggota IMF, Bank Dunia, dan PBB. Tiga lembaga dunia yang menjadi musuh Presiden Soekarno.

Masuknya Jakarta kembali ke IMF, Bank Dunia, dan PBB, memudahkan aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara Barat dan Jepang. Soeharto juga menghentikan status konfrontasi dengan Malaysia.

Baca Juga: Nestapa The Sin Nio, Mulan Versi Indonesia yang Jadi Gelandangan di Akhir Hidupnya

Berkibarnya Mafia Berkeley

Setelah membuka pintu investasi, langkah kedua Soeharto adalah memerangi hiperinflasi yang saat itu tembus 650%.

Untuk itu, dia mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi yang sebagian besar mendapatkan pendidikan di Berkeley University, Amerika Serikat. Mereka mendapat kepercayaan membuat rencana pemulihan ekonomi.

Teknokrat ekonomi inilah yang nantinya mendapat label "Mafia Berkeley" oleh David Wrentham dalam majalah Katolik, Ramparts, edisi 4 tahun 1970.

Baca Juga: Sejarah Rumah Sriwijaya: Monumen Keteguhan Hati Bu Fat yang Menjadi Cagar Budaya


Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan pada tahun 1973. Mereka inilah yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal pemerintahan Presiden daripada Suharto.

-
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Widjojo Nitisastro. Foto: .perpusnas.go.id

Julukan mafia karena pemikiranya dianggap sebagai bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika.

Salah satu nama yang dianggap sebagai pemimpin di antara Mafia Berkeley adalah Prof Dr Widjojo Nitisastro.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Iqbal Marsya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X