KONTEKS.CO.ID - Sri Sultan Hamengkubuwo pusing tujuh keliling. Saat itu tahun 1946-1947, suasana di kota Yogyakarta pascakemerdekaan yang penuh dengan pengungsi menimbulkan was-was.
Kehidupan yang serba sulit di zaman perang menyebabkan banyak orang mencari jalan pintas agar bisa makan. Begal, pencopet, dan maling bebas beraksi di siang bolong. Sementara malam harinya pelacur juga beroperasi di banyak sudut kota.
Sultan Hamengkubuwono IX mengeluhkan situasi ini kepada Mayjen Prof Drg Moestopo, penasihat khusus militer Presiden Soekarno. Sultan meminta Moestopo ikut memikirkan solusi untuk membersihkan penyakit masyarakat ini.
Baca Juga: Dua Dunia Ratmi B29: Veteran Perang Peraih Bintang Gerilya Hingga Ratu Panggung Hiburan
Alih-alih menangkap dan menertibkan para pelacur dan maling, jenderal nyentrik dengan 1001 ide ini malah mengusulkan hal nyeleneh, yakni memberdayakan maling dan pelacur untuk ikut berjuang dalam revolusi.
Caranya sederhana: mengirimkan para maling dan pelacur ke daerah-daerah pendudukan Belanda. Sebuah ide yang aneh namun sangat brilian, yaitu mengirimkan penyakit masyarakat ke daerah lawan. Ini psywar yang out of the box.
Alasannya simpel, tentara-tentara Belanda yang dikirimkan ke Indonesia adalah para pemuda yang jauh dari pacar atau istri. Mereka tentu membutuhkan kehangatan dan tak jarang para pelacur jadi penuntas birahi.
Baca Juga: Kisah Gusti Nurul, Kembang Mangkunegara Pujaan Tentara, Sultan, Hingga Perdana Menteri dan Presiden
Pemerintah setuju dengan ide tersebut. Moestopo bergerak cepat. Dia menghimpun para pekerja seks komersial ini tak hanya dari Yogyakarta, tetapi juga dari Surabaya dan Gresik.
"Pelatihan Militer"
Begitu terkumpul, para pelacur dan maling ini mendapat "pelatihan militer' berupa pendidikan disiplin dan ilmu perang. Tak tanggung-tanggung, instrukturnya adalah para tentara yang sudah terjun dalam berbagai palagan, salah satunya Kolonel TB Simatupang.
Dalam wawacara dengan koran Sinar Harapan edisi 30 September 1986, Simatupang bercerita bahwa suatu hari Moestopo menjemputnya dan meminta dia setiap malam memberikan materi ilmu perang kepada sebuah kelompok yang akan bertugas di wilayah musuh.
Baca Juga: Nestapa The Sin Nio, Mulan Versi Indonesia yang Jadi Gelandangan di Akhir Hidupnya
Ruang belajar "pelatihan militer" itu, kata Simatupang, setengah gelap. "Sejumlah perempuan muda yang zemuanya matanya ditutup berdiri di hadapan saya sehingga saya tak bisa mengenali mereka," tutur Simatupang.
Pelatihan pun usai. Moestopo menamai mereka Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi). Ada dua unit di dalamnya, yaitu Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelacur (BWP).
Tugas pertama Pasukan Terate adalah ke Kebumen untuk menghambat gerak maju tentara Belanda pimpinan Jenderal Spoor ke Yogjakarta. Mereka bertugas meledakkan semua jembatan di sepanjang Kebumen dan Gombong untuk mencegah tank-tank Belanda.
Baca Juga: Sejarah Rumah Sriwijaya: Monumen Keteguhan Hati Bu Fat yang Menjadi Cagar Budaya
Sukses menghambat Belanda di Kebumen, Moestopo pindah ke front Subang. Wilayah tempur ini kala itu dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur. Dia membawa serta 100 orang prajurit "dunia hitam"nya.
2000 Pelacur
Menurut beberapa versi keterangan, total Moestopo menurunkan hingga 2.000 pelacur dan maling untuk beroperasi di wilayah pendudukan Belanda.
Menurut sejarawan Robert B Cribb, unit-unit rahasia ini juga beroperasi di dalam kota Bandung.
Baca Juga: Maung Bikang, Laskar Mojang Bandung yang Bikin Ciut Nyali Penjajah
"Selain untuk mencuri senjata, pakaian, dan alat tempur, tugas unit ini adalah menimbulkan kekacauan dan kebingungan di kalangan tentara Belanda," sebut Cribb dalam buku Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People's Militia and Indonesin Revolution 1945-1949.
Operasi ini sukses besar. Belanda kewalahan menghadapi psywar dari pasukan bentukan Jenderal Moestopo ini.
Kondisi sosial di daerah operasi Barisan Terate kacau balau. Banyak prajurit Belanda yang terkena penyakit kelamin berkat "operasi senyap" para pelacur revolusi ini.
Baca Juga: Unik, Ternyata Candu Pernah Jadi Sumber Devisa Indonesia, Begini Ceritanya
Tingginya jumlah prajurit Belanda yang terkena penyakit kelamin menyebabkan terjadinya evakuasi besar-besaran dari pos militer. Imbasnya, kekuatan personel tempur di garis depan Belanda berkurang jauh.
"Itu memudahkan tugas kami menghancurkan pos-pos mereka," kata Letjen (Purn) Himawan Soetanto, alumni Akademi Militer yogyakarta yang pernah menjadi anak buah Moestopo.
Senada, Barisan Maling juga sukses mencuri alat-alat militer seperti senjata, teropong, dan baju-baju militer Belanda. Bahkan tanpa rasa takut, pasukan khusus ini kerap kali menurunkan bendera Belanda langsung dari tiangnya.
Baca Juga: Jarang Terungkap! Peran Penting Polisi Menumpas G30S PKI di Surakarta
Senjata Makan Tuan
Namun seiring waktu, tingkat kedisiplinan BM dan BWP kian kendor. Tak hanya musuh yang jadi korban mereka.
Di sisi lain, kedisiplinan para gerilyawan Republik juga mengendur. Karena jenuh di garis depan, rasa kesepian pun menghinggapi para pemuda sehingga sering berinteraksi dengan para perempuan muda yang berpengalaman soal seks.
Akibatnya bisa ditebak, penyakit menular seksual pun menghinggapi para pasukan Republik. Kolonel Nasution bahkan sempat menerima laporan bahwa ada Taruna Akademi Militer yang sedang praktik perang di front pertempuran ikut menjadi korban dari BWP.
Baca Juga: Cerita Tentang Werner Verrips, Agen CIA Perampok Javasche Bank Surabaya yang Tewas Misterius
Tak hanya itu, BM pun tak lagi pilih-pilih sasaran. Bukannya menyatroni markas Belanda, para maling ini pun menyasar rumah warga biasa. Tentu saja hal ini malah menambah masalah.
Lucunya lagi, ternyata bukan hanya warga dan prajurit yang menjadi korban dari Barisan Terate. Barang pribadi Jenderal Moestopo tak luput dari sasaran maling. Kopernya yang berisi pakaian dan uang raib oleh pasukan yang dibentuknya.
Suatu hari sang jenderal melapor pada Letkol Sukanda Pratamanggala bahwa dirinya kehilangan baju. Bukannya penasaran dan menyelidiki siapa pencurinya, Sukanda malah tertawa terbahak-bahak.
Baca Juga: Tan Malaka Ahli Penyamaran: 22 Tahun dalam Pelarian, 23 Nama Samaran
Moestopo yang bingung lantas bertanya kenapa dia tertawa. Perwira menengah itu menjawab bahwa pelaku pencurian itu "pasukan khususnya".
Kapok dengan kelakuan kombatan dadakan ini, beberapa hari kemudian Moestopo menarik unit-unit itu dari front sekaligus membubarkannya.
Ketika bertemu Presiden Soekarno di lain waktu, Moestopo kembali menceritakan senjata makan tuan dari pada prajurit bentukannya. Bung Karno pun ikut tertawa terbahak-bahak.***
Artikel Terkait
Ganjar Pranowo Bakar Semangat 1.204 Wisudawan Universitas Moestopo
Dua Dunia Ratmi B29: Veteran Perang Peraih Bintang Gerilya Hingga Ratu Panggung Hiburan
Maung Bikang, Laskar Mojang Bandung yang Bikin Ciut Nyali Penjajah
Maklumat Hang Lekir Kampus Moestopo, Jokowi Merusak Demokrasi
Kampus Moestopo Kasih Nilai Jokowi Nasakom