KONTEKS.CO.ID - Meskipun sudah mereka beberapa tahun, keadaan ekonomi Indonesia pada tahun 1947-1949 masih seperti di awal kemerdekaan. Pendapatan negara kembang kempis, produktivitas pangan juga rendah.
Agresi militer Belanda I pada 1947 kian memperparah keadaan ini. Padahal Belanda sudah memblokade pelabuhan dan jalur-jalur perdagangan ke luar negeri sejak November 1945. Republik Indonesia pun susah berdagang dengan mancanegara.
Robert Cribb dalam buku "Opium and the Indonesia Revolution" menulis, untuk menyokong dana perjuangan revolusi, pemerintah menjadikan candu sebagai komoditas yang menguntungkan.
Baca Juga: Maung Bikang, Laskar Mojang Bandung yang Bikin Ciut Nyali Penjajah
Penyelundupan opium atau candu ini memang sangat membantu Republik kala itu. Hasilnya berguna untuk mendapatkan persenjataan perang, kebutuhan logistik untuk perang, membiayai delegasi Indonesia di luar negeri, hingga belanja pegawai-pegawai Republik.
Candu yang diperdagangkan adalah stok zaman kolonial Belanda. Selain untuk membiayai perjuangan, penyelundupan candu ke luar negeri ini sekaligus untuk menghindari perdagangan dan penggunaan candu oleh masyarakat di dalam negeri.
Untuk masalah ini pemerintah tergolong tegas. Mereka melarang badan-badan perjuangan menjual langsung kepada masyarakat baik di wilayah Republik maupun di beberapa daerah pendudukan Belanda.
Baca Juga: Barisan Terate, Pasukan Khusus Pelacur dan Maling Penghancur Daya Tempur Belanda
Merusak Masyarakat Kecil
Ketegasan ini lantaran pada zaman pendudukan Belanda candu telah merasuk ke kehidupan masyarakat di Pulau Jawa tanpa melihat latar belakang serta status sosial dan ekonomi.
Candu pada masa itu juga telah meningkatkan taraf kemiskinan para pekerja kasar seperti buruh, petani, atau kuli perkebunan. Mereka membeli candu dari hasil keringatnya.
Penghasilan mereka rata-rata hanya 20 sen per hari. Sementara uang yang mereka habiskan untuk menghisap candu rata-rata mencapai lebih dari 5 sen. Bahkan ada juga yang membelanjakan hingga 20 sen per harinya hanya untuk opium.
Baca Juga: Dua Dunia Ratmi B29: Veteran Perang Peraih Bintang Gerilya Hingga Ratu Panggung Hiburan
Sejak akhir abad ke-19, peredaran candu di Pulau Jawa semakin meluas, terutama di wilayah-wilayah pesisir dan kota berpenduduk padat seperti Yogyakarta dan Surakarta.
Di masa itu menggunakan candu atau opium sudah menjadi hal yang lazim baik di kota maupun di pedesaan. Peredaran opium bahkan sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin.
Ironisnya, candu juga hadir dalam acara-acara rakyat seperti pesta panen, termasuk dalam acara hajatan pernikahan. Tuan rumah selalu menyediakan candu.
Baca Juga: Kisah Gusti Nurul, Kembang Mangkunegara Pujaan Tentara, Sultan, Hingga Perdana Menteri dan Presiden
1 dari 20 Pengisap Candu
Pedagang bahkan menjajakan dari rumah ke rumah. Hampir setiap desa terdapat pondok tempat mengisap opium.
Seorang pakar candu Henry Louis Charles dalam buku "Opium to Java" pada tahun 1882 menyebut bahwa satu dari 20 orang di Jawa merupakan pengisap candu.
Pada saat itulah pemerintah kolonial Belanda mulai memberlakukan pajak candu. Para agen pemegang lisensi harus membayar pajak penjualan opium kepada pemerintah kolonial Belanda.
Baca Juga: Jarang Terungkap! Peran Penting Polisi Menumpas G30S PKI di Surakarta
Di Batavia dan beberapa kota lain di Jawa, Belanda mendirikan pabrik-pabrik opium yang memproduksi dan menjadi pusat distribusi candu.
Belanda bahkan mendirikan pabrik opium besar yang terletak di pinggir jalan raya kota Batavia. Tepatnya saat ini berada di Jalan Kramat Gang Kenari dekat Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat.
Pabrik inilah menghasilkan ribuan butir candu setiap hari dan didistribusikan ke seluruh kepulauan Nusantara.
Baca Juga: Cerita Tentang Werner Verrips, Agen CIA Perampok Javasche Bank Surabaya yang Tewas Misterius
Minta Bantuan Kapolri
Menteri Keuangan ke-2 RI, AA Maramis, bertugas memimpin perdagangan ini dibantu oleh Moekarto Notowidigdo.
Dalam Jogja Dokumen Nomor 230 milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada beberapa surat resmi yang menyebutkan soal perdagangan candu. Salah satunya surat dari AA Maramis kepada Kepala Kepolisian Nasional Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Sukanto Tjokrodiatmodjo.
Secara gamblang Maramis meminta kepolisian membantu bisnis candu demi membiayai delegasi Indonesia ke luar negeri, membiayai para pejabat, dan menggaji pegawai.
Baca Juga: Kisah Receh Raja Intel Benny Moerdani Mengerjai Jenderal Tjokropranolo
Dengan restu Wapres Mohammad Hatta, Maramis mengeluarkan lisensi dari Kementerian Keuangan kepada pihak-pihak tertentu untuk berdagang candu. Lisensi ini ditandatangani Sekretaris Kementerian Keuangan dan pegawai tinggi Sekretariat Kementerian Keuangan.
Maramis meminta kepolisian mengizinkan pejabat kantor Regi Candu yang mengantongi lisensi tersebut untuk menjual candu ke luar negeri. Candu ini dibarter dengan barang-barang yang Indonesia perlukan.
Demi memperlancar pengelolaan dan perdagangan candu, pemerintah membentuk kantor-kantor Regi Candu di beberapa kota yang strategis. Kantor-kantor ini berada di beberapa kota besar seperti Kediri, Surakarta, dan Yogyakarta.
Baca Juga: Paradoks Luhut Panjaitan: Tak Pernah Telat Naik Pangkat, Namun 'Nangis' di Jabatan
Berdasarkan struktur kelembagaan, penanganan candu pada masa revolusi di bawah koordinasi kantor Wapres, dibantu oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan.
Kedua Kementerian ini bertugas memberikan pertimbangan dan izin bagi badan-badan perjuangan dalam mendapatkan dan menjual candu. Selain itu, kedua Kementerian ini juga dapat memerintahkan penyelundupan candu ke luar negeri dengan tujuan untuk mendapatkan dana perjuangan.
Maramis juga bekerjasama dengan pesepakbola Indonesia keturunan Tionghoa, Toni Wen, yang dekat dengan PNI. Toni bertugas untuk membuka jaringan dengan Singapura. Hasil dari penyelundupan candu ini memang cukup besar.
Baca Juga: Kisah Dualisme Merek Roti Legendaris Tan Ek Tjoan (1)
Hati-hati
Pada masa revolusi kemerdekaan itu, pemerintah Indonesia sangat berhati-hati dalam memperdagangkan candu. Pemerintah, termasuk badan-badan perjuangan, lebih memilih menjual kepada pihak-pihak tertentu yang dapat menyediakan barang kebutuhan daripada menjual langsung.
Ini terlihat dari laporan Kementerian Pertahanan bahwa terdapat beberapa kantor Regi Candu dan garam yang menukarkan sejumlah candu dengan bahan pakaian kepada perusahaan Astuti Trading Co.
Kemudian ada pula laporan Komandan Batalyon Zeni di Jawa Tengah yang meminta 2250 kg candu kepada kantor besar Regi Candu untuk ditukarkan dengan persenjataan.
Artikel Terkait
Kamu yang Tercandu-candu dengan Hacker, Bagaimana Cara Sebenarnya Hacker Beraksi?
Candu Main Game, Gadis 13 Tahun Kuras Tabungan Emak Hingga Rp951 Juta
Opium: Getah Bahan Baku Narkotika dari Tanaman Candu
Beroperasi di Jimbaran, Produksi Narkoba Terbesar di Indonesia Hasilkan Uang Haram Rp1,5 Triliun
Boikot DWP 2024 Viral, Warga Malaysia Mengaku Diminta Uang hingga Rp32 M dan Wajib Tes Narkoba