• Minggu, 21 Desember 2025

Xanana Gusmao 'Che Guevara' dari Timor Leste; Pejuang Humanis Tanpa Dendam, Bestie Habibie, Musuh Soeharto

Photo Author
- Kamis, 29 Februari 2024 | 23:59 WIB
Xanana Gusmao di markas perjuangannya saat bertemu Kolonel Poerwoko dan saling menunjukkan dokumen. (Foto:Satutimor.com)
Xanana Gusmao di markas perjuangannya saat bertemu Kolonel Poerwoko dan saling menunjukkan dokumen. (Foto:Satutimor.com)

KONTEKS.CO.ID - Xanana Gusmao adalah legenda hidup sekaligus pahlawan di mata rakyat Timor Leste. Pada era Timor Leste masih jadi bagian dari Indonesia di masa Orde Baru, pria ini adalah orang yang buruan utama tentara Indonesia.

Kini, Xanana Gusmao yang juga presiden pertama Timor Leste itu kembali menjabat Perdana Menteri Timor Leste untuk kali kedua.

Ia pertama kali menjabat PM pada 2002-2007, kemudian menjadi Menteri Perencanaan dan Investasi Strategis selama dua tahun. Xanana juga dua kali menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan Timor Keste.

Baca Juga: Semarak Lebaran di Era Kolonial Pernah Jadi Silang Sengketa Elite Belanda, Ini Penyebabnya

Di masa perjuangannya, Xanana Gusmao - lengkapnya Jose Alessandro Gusmao, punya jabatan mentereng. Ia adalah panglima tertinggi Falintil, sayap militer dari Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente atau Fretelin.

Xanana Gusmao mengambil alih posisi komandante gerilyawan Fretelin setelah Presiden Fretelin Nicolao Lobato tertembak mati dalam pertempuran melawan ABRI pada 31 Desember 1978. Lobato tewas dalam kepungan pasukan gabungan Yon Parikesit pimpinan Prabowo Subianto yang berisikan prajurit dari kesatuan elite Kopassandha (Kopassus), Marinir, serta Paskhas (kini Kopasgat).

El Commandante ini memimpin gerilyawan Fretilin melawan tentara Indonesia yang jauh lebih kuat dari pasukannya.

Baca Juga: Kisah Receh Raja Intel Benny Moerdani Mengerjai Jenderal Tjokropranolo

Tapi Xanana punya kecerdasan yang tinggi. Menggunakan taktik perang gerilya, Xanana Gusmao adalah pemimpin militer yang terkenal tangguh. Karena sangat menguasai medan, berkali-kali ABRI gagal menangkapnya karena selalu lolos dari sergapan.

-
Xanana Gusmao bersama para mantan pemimpin Indonesia yang menjadi sahabatnya: Wapres Try Soetrisno, Presiden Habibie, dan Presiden SBY. (Foto: Antara)

Xanana Gusmao, Tetap Tersenyum Saat Tertangkap

Nasib apes menghampirinya pada 20 November 1992. Jumat pagi itu, tim gabungan 40 ribu prajurit ABRI dari Kopassus dan berbagai kesatuan lain mengepung kawasan pegunungan di dekat kota Ainaro. Pasukan gabungan itu mengepung lokasi agar Xanana tidak bisa lolos lagi.

Tim Kopassus mendapat tugas untuk masuk menangkap dan menyergap Xanana. Berdasarkan laporan intelijen, tempat persembunyian Xanana ada di sebuah lereng terjal dengan sungai di bawahnya.

Baca Juga: Kisah Dualisme Merek Roti Legendaris Tan Ek Tjoan (1)

Saat tim menerobos masuk ke sebuah pondok, ternyata tidak ada orang di dalamnya.

Namun naluri para prajurit terlatih itu melihat ada yang mencurigakan di pondok tersebut. Salah seorang anggota tim kemudian menggeser sebuah lemari. Ternyata benar, ada lubang yang ditutupi plastik.

"Saat penutup plastik dibuka, dengan tenangnya Xanana keluar dari bawah. Ia mengangkat kedua tangannya sembari tersenyum dan tidak menunjukkan rasa takut sama sekali," ujar Lettu Bambang Ismawan, perwira Kopassus yang ikut menangkap Xanana kala itu.

Baca Juga: Jarang Terungkap! Peran Penting Polisi Menumpas G30S PKI di Surakarta

-
Xanana Gusmao saat tertangkap oleh pasukan Kopassus ABRI pada 20 November 1992. (Foto: koleksi Museum Kopassus)

Mengutip buku "Kopassus untuk Indonesia" karya Iwan Santosa dan EA Natanegara (2009), Bambang menyebut tim sudah siap menembak karena menyangka Xanana akan memberikan perlawanan. Namun komandan gerilya menyerah dengan sikap santun.

Dalam wawancara di acara "Mata Najwa" yang tayang di kanal Youtube Narasi, jurnalis Najwa Shihab juga sempat menanyakan perihal senyuman Xanana saat tertangkap oleh ABRI.

"Bagaimana Xanana masih bisa tersenyum dan tidak tersirat rasa takut sedikit pun pada saat itu? Kenapa tidak ada rasa takut di sini?" tanya Najwa sambil menunjukkan foto penangkapan.

Baca Juga: Sejarah Piala Eropa atau Euro: Diawali Mimpi Henri Delaunay, Sudah Tiga Kali Ganti Nama

Dengan sedikit berseloroh Xanana menjawab, "Karena saya tidak tahu menangis."

Xanana mengaku sudah terbiasa dengan berbagai situasi dalam perang. Bahkan sebelum menjadi Panglima Falintil, ia merupakan seorang dokter di medan perang.

Multiperan yang Humanis

Xanana adalah seorang multiperan. Ia pejuang revolusi, dokter, penulis, pemimpin gerilyawan, diplomat, sekaligus ahli militer. Xanana bak Che Guevara dari Timor Leste.

Baca Juga: Menteri Jusuf Muda Dalam: Terlibat Skandal dengan Banyak Perempuan, Koruptor Pertama Indonesia yang Divonis Mati

Ia kerap mengobati tentara Indonesia yang tertangkap dan tertembak yang notabene adalah musuhnya. Xanana mengatakan, "jika seorang musuh dalam keadaan terluka dan sudah tidak bersenjata, musuh tersebut bukan lagi menjadi musuh, melainkan manusia."

Sikap humanis seorang Xanana bukan sekadar rangkaian kata-kata manis di hadapan Najwa Shihab yang mewawancarainya.

Kay Rala, nama Xanana pemberian dari pihak ibu, sudah mempraktikkannya tatkala perang antara ABRI dan Fretelin sedang gencar-gencarnya di era 1970-an. Mantan anggota Fretelin Jose De Consenciao bersaksi, Xanana melarang anak buahnya membunuh tawanan.

Baca Juga: Pembunuhan Johnny Mangi, Petrus, dan Teror Dahsyat Orde Baru ke Pers Indonesia

"Jika yang tertangkap adalah rakyat biasa, Xanana menyuruh mereka dibebaskan. Tawanan dari ABRI pun diperlakukan dengan sangat baik oleh Xanana," sebut Jose.

Ketika terjadi pertempuran di Gunung Matebian - salah satu pertempuran terberat di era operasi Timor Timur - personel ABRI Sersan Edi tertembak kakinya. Pasukan Xanana menangkap Edi dan menyembunyikannya di sebuah gua.

"Di dalam gua itu Xanana malah mengobatinya dengan ramuan tradisional," ucap Jose dalam wawancara di Harian Kompas edisi 1993 silam.

Baca Juga: Oei Tiong Ham, Crazy Rich Pertama Indonesia, Punya Harta Rp43 T, Putrinya Jadi Ibu Negara Republik China

Kendati relasi Xanana dan ABRI kala itu bak buronan dan pemburu, sikap humanis Xanana terhadap musuh tak pernah luntur. Ia seolah ingin menunjukkan bahwa posisinya adalah sebagai pejuang kemerdekaan, bukan kelompok buas seperti tudingan terhadapnya.

Kualitas seperti itu membuat rakyat Timor Leste segan kepada Xanana.

Berawal dari Konflik Tiga Partai

Latar belakang perlawanan Xanana bermula dari konflik politik di Timor Leste pada 1975. Saat itu ada tiga faksi politik kuat yang saling berebut pengaruh, yakni Partai UDT, Fretelin, dan Apodeti.

Baca Juga: Toyota, Sejarah yang Berawal dari Mesin Tenun Buatan Sakichi Toyoda, Anak Tukang Kayu dan Petani Miskin Jepang

UDT menginginkan Timor-Timur tetap menjadi koloni Portugal. Sedangkan Fretelin menghendaki kemerdekaan dan menjadi negara sendiri. Sementara Apodeti ingin agar Timor-Timur bergabung dengan Indonesia.

Apodeti yang ingin bergabung dengan Indonesia paling lemah pengaruhnya, kalah dari UDT dan Fretelin.

Saat itu terjadi persaingan sengit antara UDT yang ingin mempertahankan status quo di bawah Portugal melawan keinginan merdeka dari Fretelin. UDT menuduh Fretelin akan membawa Timor- Timur menjadi negara komunis.

Baca Juga: Kontroversi Pernikahan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou di Era 1980an, Gosip Terpanas Era Koran Cetak

Perseteruan ini berujung pada konflik berdarah. Banyak warga Timor-Timur yang mengungsi Ke kawasan perbatasan yang dekat dengan wilayah Indonesia.

Pada 28 November 1975 Fretilin menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan kemerdekaan Timor-Timur sekaligus meresmikan kabinet beranggotakan 18 orang. Pendiri Fretelin Xavier do Amaral didapuk menjadi presiden dan Nicolao Lobato sebagai wapres merangkap perdana menteri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Jimmy Radjah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X