Baca Juga: Kisah Kivlan Zen: dari Aktivis Mahasiswa Hingga Jadi Tentara, Gagal Jadi Kopassus Gegara Makanan
Satu lagi 'kreativitas' Nugroho merekonstruksi sejarah adalah mengusulkan penggantian Hari Pahlawan yang ditetapkan pada 10 November 1945 (Pertempuran Surabaya 1945) menjad1 Maret 1949 (peristiwa Serangan Umum di Yogyakarta). Meski tidak keburu terealisasi akibat kematiannya yang mendadak, namun dianggap mencerminkan bias militerisme Orde Baru.
Narasi sejarah Orde Baru pun menyempit menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Militer dijadikan pahlawan mutlak, sementara lawan politik dicitrakan sebagai pengacau dan musuh negara.
Baca Juga: Salim Group, Raksasa Ekonomi yang Pernah Berada di Titik Terendah Bisnis, Politik, dan Krisis
Sejarah pun kehilangan kompleksitasnya, dan generasi muda tumbuh dalam doktrin yang nyaris tak bisa digugat.
"Narasi 1965 sengaja dibentuk negara untuk melayani agenda ideologis dan politik," kata Katherine McGregor.
Dia adalah pengajar di University of Melbourne dan menuliskan komentarnya itu dalam karya berjudul ‘History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past’ pada 2007.
Baca Juga: Kisah Kelam Isaac Newton, Jenius Sains yang Pernah Gagal dalam Investasi Saham
Tidak hanya menyangkut konten sejarah, proses pembuatan karya sejarah Nurgoro juga menuai kontroversi tatkala para sejarawan mundur dari proses pembuatan buku sejarah tersebut.
Tatkala Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada 1970 berakhir, pemerintah membentuk Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah Nasional (PBSN). Struktur panitia PBSN diisi oleh Sartono Kartodirdjo (Ketua Umum), Marwati Djoened Poesponegoro (Ketua I), dan Nugroho Notosusanto (Ketua II).
Dalam suatu peristiwa, Deliar Noer, salah satu anggota tim penulis buku SNI, dipanggil Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri dari tim penyusunan buku SNI.
Baca Juga: Oesin Batfari, Kriminal yang Jalani Eksekusi Hukuman Mati Pertama di Indonesia
Alhasil, sejarawan-sejarawan lain yang turut terlibat dalam penulisan jilid V buku SNI juga ikut mundur. Mereka adalah Abdurrahman Surjomihardjo, Thee Kian Wie, dan Taufik Abdullah.
Puncaknya, sejarawan Sartono Kartodirdjo turut mengundurkan diri dan menolak menjadi penanggung jawab materi buku SNI untuk jilid VI. Proyek penulisan jilid VI buku SNI dilanjutkan Nugroho Notosusanto sebagai ketua editor.