kontekstory

Cerita Sejarah Pembentukan TNI: dari Gesekan Faksi PETA dan KNIL, Ribut Soal Gaji dan Pangkat, Hingga Adu Koboi di Pemilihan Panglima

Minggu, 5 Oktober 2025 | 09:00 WIB
Kolonel Soedirman saat menandatangani pengangkatan sebagai Panglima TKR atau TNI. Foto: Mengikuti Jejak Panglima Besar (Foto: Mengikuti Jejak Panglima Besar)

Jepang lalu memenuhi permintaan Gatot Mangkoepradja. Mereka melahirkan PETA yang merupakan sebuah giyugun alias tentara sukarela.

Baca Juga: Mengenal Riwu Ga si ‘Angalai' Soekarno: Terompet Proklamasi dan Paspampres Pertama Indonesia yang Terlupakan

Sejumlah sumber lain menyebutkan Jepang sendiri telah mempunyai inisiatif membentuk tentara tersebut. Hal ini salah satunya ditulis oleh John Chan Hoon Lee dari Corneel University.

Ia menyebutkan, PETA didirikan di bawah Beppan yang merupakan divisi intelijen dari Pasukan ke-16 Jepang di Jakarta. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Pertama Yanagawa Motoshige.

PETA adalah kesatuan dengan batalion-batalion yang disebut sebagai daidan di dalamnya. Kekuatan awal PETA di Jawa adalah 33 daidan dengan masing-masing 500 prajurit.

Masing-masing daidan memiliki tiga komandan kompi atau chudan dan tiga komandan platon alias shodan. Posisi terakhir terkenal dengan sosok yang memimpin pemberontakan PETA di Blitar pada Februari 1945, yakni Supriyadi.

Baca Juga: Cerita Tentang Laswi, dari Mangga Tuti Amir Hingga Duo Maung Bikang yang Doyan Penggal Kepala Musuh

Di tahun 1944, terdapat sekitar 16.000 tentara PETA. Jumlah ini kian melonjak hingga jelang akhir Perang Dunia II menjadi sekitar 38.000 pasukan. Mereka tersebar di 69 batalion dengan 922 orang perwira terlatih.

Berbeda dengan KNIL, sistem pendidikan di PETA tergolong cepat yakni berkisar antara 6-18 bulan.

Perbedaan Mencolok PETA dan KNIL

Latar belakang model ketentaraan di KNIL dan PETA, termasuk sistem pendidikan dan kondisi yang terjadi saat itu, memang melahirkan dua tipe tentara yang berbeda.

Secara umum, teknik dan teori militer pasukan PETA jauh tertinggal ketimbang KNIL. Kebanyakan tentara PETA hanyalah masyarakat desa dan lulusan Sekolah Rakyat. Namun tentara PETA unggul dari sisi semangat juang. 

Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas HUT TNI ke 80 di Monas, Polda Metro Jaya Siapkan 1.508 Personel Pengamanan

Hal inilah yang kemudian menjadi benturan ketika dua latar belakang tentara tersebut berusaha digabungkan menjadi satu kesatuan dalam TKR dan berevolusi menjadi TNI.

Letjen Oerip Soemohardjo berebut kursi Panglima TKR dengan Kolonel Soedirman. (civitasbook)

Jurnalis senior Harry Kawilarang menyebut tentara didikan Belanda lebih profesional di TKR. Ia mencontohkan bagaimana TKR di Markas Besar Oemoem (MBO) di Yogyakarta yang kebanyakan diisi oleh perwira-perwira mantan KNIL.

Halaman:

Tags

Terkini