Sebagai informasi, Gubernur Jenderal Daendels mashyur dengan karyanya berupa pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan.
Baca Juga: Potret Buram Mayor Sabarudin, Tentara Psikopat Era Kemerdekaan yang Cuma Tunduk pada Tan Malaka
Regulasi itu mendapatkan wujud yang lebih jelas di era Van Den Bosch melalui program tanam paksa yang diterapkan kala itu. Protek 'pemaksaan' itu mau tidak mau mendorongnya untuk menggunakan lebih banyak daya militer.
Belakangan tentara KNIL memang melibatkan banyak warga lokal. Namun untuk jabatan perwira mayoritas tetap diisi oleh warga Belanda dan Eropa lainnya
Hanya sedikit warga pribumi yang mampu menduduki pangkat tinggi di KNIL.
Sova mencatat, pada tahun 1942 ketika Belanda menyerah kepada Jepang, hanya ada 20 orang perwira KNIL dari kaum pribumi Indonesia. Padahal saat itu total ada 20.000 serdadu pribumi.
Sedangkan pangkat tertinggi para perwira itu umumnya mayor, salah satunya adalah Oerip Soemohardjo.
Saat menyerah pada Jepang, total tentara KNIL diperkirakan berjumlah 38.000 orang. Sekitar 1.345 di antaranya adalah perwira, sisanya 36.655 adalah serdadu.
Saat kesatuan ini dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1950, tercatat ada 65.000 tentara KNIL. Sebagian dari mereka ada yang kembali ke Belanda dan bergabung dengan Royal Dutch Army alias Tentara Kerajaan Belanda.
Sebagian bergabung dengan TNI sedangkan sebagian lagi di-demobilisasi. Kelompok terakhir ini oleh John Asher Johson dalam buku "Role of the Military in Underdeveloped Countries" disebut bergabung dengan Permesta di Sulawesi.
Sementara itu, PETA didesain oleh Jepang saat masuk ke Indonesia.
Ada sejumlah sumber yang menyebutkan pembentukan PETA berawal dari surat Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan, pemimpin tertinggi militer Jepang di Jakarta.
Ia meminta agar Jepang membentuk barisan pemuda lokal untuk membela Tanah Air dari ancaman Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya.