Baca Juga: Pesawat, Fiat, Hingga Limousine dalam Pelarian dan Misi Terakhir Tokoh G30S PKI DN Aidit
Kembali ke belakang, pada Februari 1945, Soekarno mengangkat Supriyadi -- tokoh pemberontakan PETA di Blitar -- sebagai Menteri Keamanan Rakyat di Kabinet Presidentil. Saat TKR berdiri menggantikan BKR, Supriyadi diangkat sebagai pemimpin tertinggi TKR.
Uniknya, sejak menjadi pemimpin tertinggi TKR, tokoh heroik itu tak pernah muncul, bahkan sejak melakukan pemberontakan terhadap Jepang.
“Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi tidak pernah datang ke Jakarta dan tidak memberi jawaban yang pasti kesediaannya diangkat menjadi Menteri (Keamanan Rakyat),” tulis Bibit Suprapto dalam buku “Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia”.
Pada 3 Juni 1947, Presiden Soekarno menyatukan TRI dan semua barisan bersenjata rakyat ke dalam wadah resmi Tentara Nasional Indonesia atau TNI.
Baca Juga: Jejak Kerusuhan Politik di Indonesia dari Anarkisme Reformasi 1998 Hingga Demo Algoritma 2025
Penyatuan tersebut menjadi langkah penting pemerintah mempersatukan kekuatan bersenjata guna mempertahankan kemerdekaan.
Mengenal Sejarah Awal KNIL dan PETA yang Berbeda
Unsur TNI sejatinya bukan hanya PETA dan KNIL. Ada unsur Heiho dan laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah. Tapi friksi yang mencolok adalah antara fraksi PETA dan KNIL.
Sejarah keduanya tak bisa lepas dari konteks penjajahan di Tanah Air. Terkait KNIL, ada sejumlah sumber yang menyebut KNIL lahir pada 1830 dan dibentuk oleh Gubernur Hindia Belanda saat itu yakni Johannes Van Den Bosch (1830-1833).
Tetapi riset yang digelar perwira Belanda, Letkol Wllem L Plink, menyebutkan, pasukan ini sudah berdiri sejak tahun 1814. Mereka dibentuk Belanda guna menghadapi gejolak yang terjadi di tanah jajahannya.
Baca Juga: Jejak Kerusuhan Politik di Indonesia dari Anarkisme Reformasi 1998 Hingga Demo Algoritma 2025
Peneliti John Matthew Sova dari Cornell University dalam risetnya menyebutkan, Belanda secara umum dan VOC secara khusus, awalnya tak punya niat untuk membentuk kesatuan tentara yang berasal dari warga lokal jajahannya.
Banyak tentara Belanda kala itu adalah tentara bayaran. Mereka berasal dari negara-negara di Eropa seperti Jerman, Prancis, dan Inggris.
Kebijakan Kerajaan Belanda berubah seusai Napoleon Bonaparte menginvasi negeri kincir angin. Napoleon menunjuk Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Batavia pada 1808.
Imbasnya, Daendels meningkatkan kapasitas militer Hindia Belanda dari 4.000 tentara menjadi 18.000 pasukan dengan mulai mempekerjakan tentara lokal Jawa sebagai bala keamanannya.