Ini simbol amarah pada elite yang dianggap hidup mewah di tengah krisis.
Polisi lagi-lagi menuding anarko sebagai penyusup. Kapolres Bone AKBP Sugeng Setyo Budhi menyebut aksi disusupi kelompok anarko yang memicu bentrok.
Baca Juga: Menit-menit Mencekam Mei 1998, Saat BJ Habibie Copot Prabowo Subianto dari Pangkostrad
Membandingkan Aksi 1998 dan 2025
Ada benang merah antara 1998 dan 2025: krisis kepercayaan pada negara.
Bedanya, jika 1998 lahir dari represi politik dan krisis moneter, maka 2025 tumbuh dari demokrasi prosedural yang hampa.
- 1998: mahasiswa motor utama, isu ekonomi-politik struktural.
- 2025: buruh, ojol, akar rumput jadi aktor, dipercepat oleh media sosial.
Jika 1998 melahirkan Reformasi, 2025 masih tanda tanya, apakah hanya amarah sesaat, atau cikal perubahan besar kedua?
Analisis Akademis: Krisis Representasi dan Ironi Ideologi
Ilmuwan politik menamai situasi 2025 sebagai krisis representasi.
Sebab rakyat merasa DPR tidak lagi mewakili aspirasi, melainkan kepentingan diri sendiri.
Demokrasi prosedural tanpa substansi hanya melahirkan frustrasi kolektif.
Dalam konteks ini, anarkisme bukan sekadar stigma. Ia adalah kritik paling radikal terhadap negara.
Namun sejarah juga memperingatkan: ideologi bisa menelan pengikutnya sendiri, sebagaimana dialami Bukharin di Uni Soviet.
Di Indonesia, anarkisme mungkin hanya arus kecil.
Artikel Terkait
Ide Gila Jenderal Prof Moestopo, Bentuk Barisan Pelacur dan Maling Hancurkan Belanda di Era Revolusi Kemerdekaan
Cerita Tentang Laswi, dari Mangga Tuti Amir Hingga Duo Maung Bikang yang Doyan Penggal Kepala Musuh
Mengenang Sepak Terjang K'tut Tantri, Warga Amerika yang Berjuang di Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Potret Buram Mayor Sabarudin, Tentara Psikopat Era Kemerdekaan yang Cuma Tunduk pada Tan Malaka