KONTEKS.CO.ID - Sri Sultan Hamengkubuwana (HB) IX pribadi dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Saking sederhananya, ia tak mau orang tahu tentang jasa-jasa besarnya bagi Republik ini yang tak terbilang.
Tak heran, hujan air mata di Tanah Air begitu kabar HB IX mangkat pada 2 Oktober 1988 sampai ke Indonesia. Perjalanan jenazah HB IX dari Keraton Yogyakarta hingga pemakaman di Imogiri dipenuhi jutaan manusia yang menangis di pinggir jalan.
HB IX menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit George Washington, Washington DC, Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Sekelumit Cerita Saat Haji Bung Karno Ibadah Haji: dari Merangkak di Makam Nabi Muhammad SAW , Usul Pelebaran Masjidil Haram, Hingga Dapat Kiswah
Bukan hanya warga Yogyakarta, seluruh rakyat Indonesia juga menangisi kepergiannya. Sebab, mereka sadar betul kecintaan Raja Kasultanan Yogyakarta tersebut terhadap warganya dan rakyat Indonesia.
Sumbangan Cek 6 Juta Gulden
Salah satu jasa besar Sri Sultan HB IX yang belakangan terungkap ke publik ialah sumbangan Pahlawan Nasional itu untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) pertama RI.
Sebenarnya informasi itu akan disampaikan oleh Joesoef Ronodipoero ke dalam buku "Kabar Tahta untuk Rakyat; Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX".
Baca Juga: Mengenal Profesi Gowok, Guru Seksualitas ala Jawa Tradisional: Warisan Leluhur yang Tabu Tapi Dihormati
Tetapi naskah delapan halaman itu hanya dilipat dan dimasukkan ke dalam sakunya. Akhirnya tak ada yang tahu fakta tersebut. Fakta ini baru sampai ke telinga rakyat setelah HB IX dimakamkan.
Ya, sejarah awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tak lepas dari peran HB IX.
Seusai tentara Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia pada 29 Juni 1949, Bapak Pramuka Indonesia itu mengumandangkan Proklamasi Kedua bangsa ini.
Baca Juga: Sjafrie Sjamsoeddin dan Kerusuhan Mei 1998, Uji Nyali Jenderal Tampan Eks Pengawal Kesayangan Soeharto
Meminjam pesawat milik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), pada hari yang sama, Sri Sultan terbang menuju Pulau Bangka untuk menemui Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri yang diasingkan Belanda di pulqu itu semasa perang mempertahankan kemerdekaan RI.
Saat terbang ke Bangka, Raja Ngayogyakarta itu sadar betul Soekarno-Hatta dan Republik Indonesia tak mempunyai modal untuk menjalankan roda pemerintahan.
Kas negara kosong lantaran pemerintah sibuk berperang mempertahankan kemerdekaan melawan agresi Belanda. Akibatnya, Dwi Tunggal bahkan tak punya kemampuan membayar pegawai, polisi, maupun tentara.
Baca Juga: Menit-menit Mencekam Mei 1998, Saat BJ Habibie Copot Prabowo Subianto dari Pangkostrad
Untuk itu, Sri Sultan tak ragu menyumbangkan harta pribadinya agar pemerintahan yang sah bisa menjalankan Republik ini.
Saat mengantarkan Soekarno ke Lanud Maguwo pada 27 Desember 1949 untuk mengembalikan Ibu Kota ke Jakarta, Sultan menyerahkan sesuatu kepada pemimpin Republik.
"Lalu tangan kanan Beliau masuk ke dalam kantong kirinya. Keluarlah selembar cek, tertera di situ angkanya adalah 6 juta gulden," ungkap KPH Yudhaningrat, Wakil Penghageng Tepas Tandha Yekti dalam sebuah tayangan video.
Baca Juga: Sejarah Macao Po, Pelopor Lokalisasi di Jakarta: Perempuan Sipit Didatangkan dari Makau China, Pelanggannya Pejabat Belanda dan Taipan
"Diserahkan pada Bung Karno, 'Ini Bung Karno uang pribadi saya. Uang ini cukup untuk mengoperasionalkan Pemerintahan Republik Indonesia ini'," katanya.
Pesan berikutnya dari HB IX kepada Soekarno lebih mengharukan lagi, "Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta."
Apa yang dilakukan Sri Sultan sejalan dengan Sabda Pandita Ratu-nya atau Titah Raja, sesuai telegram yang dikirimnya dua hari setelah proklamasi. Titah itu berbunyi, "Raja Yogyakarta sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia (Soekarno-Hatta)".
Baca Juga: Kisah Kivlan Zen: dari Aktivis Mahasiswa Hingga Jadi Tentara, Gagal Jadi Kopassus Gegara Makanan
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa APBN pertama dibiayai oleh Raja Kasultanan Yogyakarta. "Artinya apa? Ternyata APBN Republik Indonesia pertama kali adalah uang pribadinya Sri Sultan Hamengku Buwono IX," sebutnya.
Tak diketahui jumlah pasti 6 juta gulden saat itu. Tapi jika diukur dalam nilai tukar terkini, bisa dipastikan sumbangan itu bisa mencapai triliunan rupiah.
Mungkin jika Sri Sultan HB IX masih ada di tengah-tengah rakyat, fakta sejarah ini tidak akan pernah sampai ke publik.
Baca Juga: Kisah Kelam Isaac Newton, Jenius Sains yang Pernah Gagal dalam Investasi Saham
Gambaran bahwa HB IX tak ingin kebaikannya diungkit terbaca di dalam buku biografi yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk yang disunting Atmakusumah.
Di buku itu Sultan berujar tidak ingin dikenang menjadi seorang pahlawan semacam itulah. "Aku (hanya) ingin dikenang ya sudah menjadi Dorojatun (nama kecil Sri Sultan), Dorojatun saja, menjadi Hamengku Buwono IX saja."
Sementara gelar Pahlawan Nasional adalah penghargaan yang diberikan oleh negara kepada Sultan HB IX.
Baca Juga: Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin
Menjalankan amanat Sang Raja, sampai saat ini tak ada nama jalan atau monumen di ruang-ruang publik yang dibangun dengan menggunakan namanya. Khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan pencarian Konteks di mesin pencarian Google, hanya ada satu jalan dengan nama Jalan Raya Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Persisnya di wilayah Kelurahan Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur.
Sejarah Lebih Memilih Bergabung ke RI
Pertanyaan menarik terkait kiprah HB IX adalah keputusan Sang Raja bergabung ke Republik Indonesia. Kenapa ia memilih bergabung ke RI, padahal saat itu Sri Sultan sudah hidup mapan dan mempunyai negara sendiri.
Baca Juga: Oesin Batfari, Kriminal yang Jalani Eksekusi Hukuman Mati Pertama di Indonesia
HB IX memang memiliki pandangan visioner dan berpikir global. Ini tak lepas dari latar belakangnya yang bersekolah di Belanda.
Di sana, dia berdiskusi dengan tokoh-tokoh mahasiswa yang saat itu bersekolah di sana. "Sri Sultan tahu bahwa akan terjadi perubahan. Sehingga Keraton itu tidak akan bisa tahan terus seperti zaman Belanda, bisa menata menguasai seperti dulu," kata Djoko Suryo, Guru Besar UGM.
Menimbang itu semua, lanjut Djoko Suryo, ia merasa lebih baik jika Keraton bergabung dengan negara yang baru ini. Selanjutnya, ia ingin berperan di dalam wilayah yang baru tersebut.
Artikel Terkait
Sri Sultan HB X Benarkan Diminta Jokowi Fasilitasi Pertemuan dengan Megawati
Sri Sultan HB X Ungkap Masalah Naiknya Harga Beras, Singgung Impor Hingga Cuaca
Soal Tambang Ilegal di Yogyakarta, Sri Sultan HB X: Ditutup saja, Kenapa Takut?
Per Bulan Maret, APBN 2025 Sudah Habis Rp620,3 T, ke Mana saja Uang Rakyat Dihabiskan?
Jarang Terjadi, Sri Mulyani Pastikan Kinerja APBN Surplus Rp4,3 Triliun