• Minggu, 21 Desember 2025

Koalisi Masyarakat Sipil Catat 40 Pasal KUHAP Baru Ancam Sistem Peradilan Pidana

Photo Author
- Sabtu, 22 November 2025 | 19:43 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani saat menerima dokumen laporan terkait RKUHAP menjadi UU. (KONTEKS.CO.ID/Dok DPR-Tari)
Ketua DPR RI Puan Maharani saat menerima dokumen laporan terkait RKUHAP menjadi UU. (KONTEKS.CO.ID/Dok DPR-Tari)

KONTEKS.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyatakan, KUHAP baru setidaknya mengandung 40 pasal yang ancam sistem peradilan.

"Substansi KUHAP baru bermasalah, detail pasal-pasal mengancam sistem peradilan pidana," kata Koalisi dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Sabtu, 22 November 2025. 

Menurut Koalisi, masalah tidak hanya berhenti pada proses pemberlakuan yang dipaksakan, tetapi terdapat banyak sekali catatan substansi yang bermasalah.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil: KUHP dan KUHAP Tanpa Fondasi, Jalan Menuju Bencana Hukum Pidana

"Paling tidak saat ini telah ditemukan 40 catatan masalah dalam RUU KUHAP 2025," ujarnya.

Koalisis menyatakan, jumlah tersebut kemungkinan akan terus berkembang. Adapun sejumlah pasal bermasalah itu, di antaranya penangkapan-penahanan yang mengancam perlindungan fisik warga negara.

Paling fundamental, ujar Koalisi, izin upaya paksa menyangkut perlindungan fisik warga negara, yaitu penangkapan dan penahanan sama sekali tidak datang dari otoritas independen (Pasal 93 dan Pasal 99).

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil: KUHAP Baru Seret Indonesia ke Jurang Krisis Hukum Pidana

Penyidik sendiri yang bisa memutus melakukan penangkapan tanpa dilihat terlebih dahulu keabsahan alat bukti yang menjadi alasan penangkapan.

"Tak ada otoritas hakim yang imparsial yang menguji kebutuhan melakukan penangkapan," katanya.

Selain itu, keputusan penahanan juga datangnya dari penyidik, bukan otoritas hakim. Apalagi alasan penahanan bertambah jadi sangat subjektif.

Baca Juga: Amputasi Penyidik PPNS, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Prabowo Terbitkan Perppu Batalkan KUHAP Baru

Itu subjektif, yakni memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan dan menghambat proses pemeriksaan, yang sangat subjektif, rentan penyalahgunaan dan bertentangan dengan hak ingkar tersangka.

"Izin penangkapan dan penahanan bukan dari otoritas independen ini hanya terjadi di sistem peradilan pidana di Indonesia," tandasnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Setiawan Konteks

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X