KONTEKS.CO.ID - Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang disahkan pada 18 November 2025 kembali menjadi sorotan publik.
Sejumlah aturan krusial dinilai menimbulkan pertanyaan besar, terutama terkait pasal penyadapan, definisi keadaan mendesak, hingga kewenangan pemblokiran.
Kontroversi ini menguat setelah pengulas kebijakan publik, Ferry Irwandi, menguraikan isi naskah KUHAP melalui kanal YouTube Malaka Project pada 21 November 2025.
Baca Juga: Selamatkan Tabungan Hari Tua ASN, KPK Setor Balik Uang Korupsi Taspen Hampir Rp1 Triliun
Dalam pemaparannya, Ferry menegaskan bahwa ia telah membaca keseluruhan dokumen.
“Saya sudah baca semua pasal di 156 halaman itu untuk memahami lebih dalam tentang produk hukum terbaru di Indonesia,” ujarnya.
Ia menyebut proses pengesahan berlangsung cepat dan minim ruang tinjauan publik.
Perbedaan Naskah 13-18 November dan Kekhawatiran Soal Transparansi
Baca Juga: Tak Cuma Kemenag, KPK Kini Obok-obok BPKH untuk Selidiki Dugaan Permainan Vendor di Arab Saudi
Salah satu isu yang memantik diskusi adalah perubahan substansial antara draf KUHAP tanggal 13 November dan versi final yang disahkan lima hari kemudian.
Menurut Ferry, publik baru dapat mengakses dokumen final hanya beberapa jam sebelum disahkan.
Ia menilai kondisi itu menjadi celah munculnya misinformasi.
Dalam ulasannya Ferry mengatakan, “Draf tanggal 13 November berbeda jauh dari versi final 18 November, dan publik tidak memiliki waktu memadai untuk membaca naskah setebal 156 halaman itu.”
Baca Juga: Gunung Semeru Erupsi, Tapi Penerbangan Masih Aman! AirNav Pantau Rute dan Bandara Intensif
Perubahan cepat naskah tersebut, menurut Ferry, dapat menimbulkan distorsi informasi karena publik hanya menerima potongan penjelasan tanpa bisa memverifikasi dokumen aslinya.
Sorotan atas Pasal Penyadapan, Penangkapan, dan Keadaan Mendesak
Ferry juga menyoroti beberapa pasal yang dianggap rawan multitafsir, terutama pasal terkait penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran.
Tentang penyadapan, Ferry menekankan poin penting dalam Pasal 136, dengan penjelasan bahwa aturan teknisnya belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur pelaksanaan.
Baca Juga: Bareskrim Polri Gulung 2 Jaringan Pinjol Ilegal: Teror dan Sebar Foto Editan Tak Senonoh Korban
“Terkait penyadapan tentu ini sudah berkaitan dengan hak asasi dan privasi masyarakat. KUHAP baru mengatur soal penyadapan dalam Pasal 136,” jelasnya.
Ia menilai kekosongan aturan turunan dapat membuat mekanisme penyadapan berada di area abu-abu secara hukum.
Selain itu, frasa “keadaan mendesak” yang muncul dalam Pasal 120 tentang penyitaan dan Pasal 140 mengenai pemblokiran juga dikritisinya.
Artikel Terkait
KPK Tuntaskan Penyelidikan Korupsi Google Cloud, Nama Nadiem Makarim Kembali Jadi Tersangka
KPK Bongkar Mahalnya Biaya Haji Jemaah Indonesia Dibanding Negara Lain
Tak Cuma Kemenag, KPK Kini Obok-obok BPKH untuk Selidiki Dugaan Permainan Vendor di Arab Saudi
Sherly Tjoanda Akui Punya 5 Perusahaan Tambang, Tapi Lepas Semua Kepengurusan Sebelum Jadi Gubernur
Selamatkan Tabungan Hari Tua ASN, KPK Setor Balik Uang Korupsi Taspen Hampir Rp1 Triliun