KONTEKS.CO.ID - Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, menilai skorsing terhadap mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (UTA’45), Damar Setyaji Pamungkas, sebagai bentuk kemunduran dunia akademik dan indikasi munculnya kembali kultur ketakutan seperti masa Orde Baru.
Ia lantas mendesak kampus segera mengembalikan hak Damar untuk mengikuti perkuliahan.
Ray menyatakan bahwa tindakan kampus mencabut hak belajar mahasiswa hanya karena menggelar diskusi penolakan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip kebebasan akademik.
Ia menyebut kondisi ini sebagai tanda bahwa atmosfer ketakutan kembali menjalar di masyarakat.
Baca Juga: Skorsing Mahasiswa UTA’45, LMID Siap Laporkan Kasus ke Komnas HAM
“Rasa takut itu sangat cepat menjalar. Sementara keberanian harus dipupuk. Itulah sebabnya mengapa Orde Baru mampu bertahan 32 tahun. Sebab, rasa takut tersebar bahkan, mungkin, melampaui bayangan Orde Baru sendiri,” ujarnya, saat berbincang dengan Konteks.co.id, Senin, 17 November 2025.
Ia menilai situasi serupa mulai terlihat hari ini. Menurutnya, ketakutan menjadi pendorong tindakan yang bersifat otomatis, bahkan ketika hati nurani seseorang menolak tindakan tersebut.
“Suasana yang sama, perlahan mulai kita alami. Rasa takut menjadi motor gerakan yang bahkan tanpa komando apa pun. Ia datang secara naluri yang membuat orang per orang melakukan tindakan yang bahkan hatinya sendiri menolaknya,” kata Ray.
Ray mengkritik keputusan kampus menskors Damar hanya karena mahasiswa itu terlibat dalam diskusi penolakan Soeharto sebagai pahlawan.
Menurutnya, hak mengikuti kuliah adalah hak dasar yang hanya dapat dicabut bila mahasiswa melakukan pelanggaran serius, bukan karena menyampaikan sikap kritis.
Baca Juga: Ini Alasan Dekan FEBIS UTA’45 Jakarta Larang Diskusi dan Skorsing Damar Setyaji
“Apa yang dialami oleh mahasiswa Damar memperlihatkan itu. Rasa takut yang tidak dikomandoi oleh siapapun membuat pihak kampus mencabut hak sang mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan. Padahal, mengikuti kuliah itu adalah hak prinsipil mahasiswa yang hanya bisa dicabut kala si mahasiswa melanggar hal prinsipil di kampusnya,” tegasnya.
Ray pun mempertanyakan dasar skorsing tersebut; “Pertanyaannya apakah menolak Soeharto sebagai pahlawan merupakan pelanggaran? Apakah sikap kritis merupakan pelanggaran di kampus? Jika ya, malang sudah nasib dunia kampus kita,” sindir Ray.
Artikel Terkait
Damar Diskorsing Gegara Diskusi Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, EN-LMID: Tindakan UTA'45 Represif Ala Orba
Skorsing Damar Terkait Diskusi Pahlawan Nasional Soeharto Pelanggaran Kebebasan Akademik, LMID Desak Kemendikti Tindak UTA'45 Jakarta
Ikatan Alumni Ultimatum UTA'45 Jakarta: Cabut Skors Damar Setyaji, Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka
Polda Metro Jaya Bantah Ikut Cawe-Cawe atas Larangan Diskusi Dosa Politik Soeharto di UTA'45 dan Skorsing kepada Mahasiswa Damar Setyaji
Ini Alasan Dekan FEBIS UTA’45 Jakarta Larang Diskusi dan Skorsing Damar Setyaji