KONTEKS.CO.ID - Minggu, 2 November 2025, menjadi hari yang sarat emosi bagi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Hangabehi wafat, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar dan warga Solo.
Namun, duka itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, dunia publik kembali disuguhi drama suksesi yang pelik.
Putra Mahkota KGPAA Hamangkunegoro, atau Gusti Purbaya, mendeklarasikan dirinya sebagai Pakubuwono XIV pada Rabu, 5 November 2025, beberapa jam sebelum jenazah PB XIII diberangkatkan ke Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul.
Dengan wajah serius dan penuh haru, Gusti Purbaya berdiri di hadapan peti jenazah ayahnya dan mengucapkan ikrar kenaikan takhta:
"Atas perintah dan titah Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, saya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro, pada hari ini naik tahta menjadi Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XIV," ujarnya lantang.
Langkah ini didukung oleh kakak tertuanya, GKR Timoer Rumbaikusuma Dewayani, yang menegaskan deklarasi tersebut sesuai adat Kasunanan.
"Sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah simbol kesetiaan, bukan pelanggaran adat," katanya.
Namun, drama politik keraton belum usai. Pada hari yang sama, Kanjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, yang menjabat sebagai Maha Menteri, menyatakan diri sebagai Pelaksana Tugas Raja Keraton Solo.
Juru bicaranya, KP Bambang Pradotonagoro, menegaskan, "Beliau sebagai caretaker, bukan raja. Panembahan Agung Tedjowulan hanya menjalankan wewenang sementara dari Keraton Kasunanan Surakarta berdasarkan SK Mendagri Nomor 430-2933 Tahun 2017."
Dua Deklarasi dalam Satu Hari, Awal Dualisme
Sejak deklarasi Gusti Purbaya dan Tedjowulan, dualisme kepemimpinan langsung muncul. Dua klaim berbeda ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa raja sah, dan bagaimana arah suksesi sebenarnya?
Menurut pengamat sejarah Prof. Dr. Bambang Haryanto, "Situasi ini mirip drama klasik Jawa, di mana loyalitas keluarga dan tradisi adat sering berbenturan. Publik tentu penasaran siapa yang sah, karena keduanya punya alasan sejarah dan hukum masing-masing."
Artikel Terkait
Konflik Keraton Solo: Perebutan Takhta, Seteru Keluarga, dan Harapan Damai
Kehidupan Putri Keraton Solo Usai PB XIII Wafat, GRAj Putri Purnaningrum Tuai Sorotan karena Nikah dengan Pria Nonbangsawan
Memorial PB XIII, Raja Penyatu Keraton Solo: Warisan Sejarah, Badai Suksesi, dan Dualisme Takhta
Dua Versi Penerus Tahta Keraton Solo Muncul Jelang Pemakaman Pakubuwono XIII, Double Raja di Keraton Solo?
Sejarah Raja Solo dari Masa ke Masa, Berakhirnya PB XIII dan Lahirnya Sang Raja Muda PB XIV
Penobatan Raja Baru Paku Buwono XIV di Keraton Solo Digelar Sabtu, Simbol Regenerasi Adat yang Sakral