Situasi ini menegaskan bahwa proses suksesi Keraton Solo tidak sekadar soal warisan tahta, tetapi juga soal pengakuan keluarga dan masyarakat luas.
Baca Juga: Drama Miss Universe 2025: Direktur Miss Meksiko Ditangkap di Thailand, Konflik Fatima Bosch Memanas
Akar Perselisihan Sejak 2004
Sejarah panjang konflik suksesi di Keraton Solo berawal dari wafatnya Pakubuwono XII pada 12 Juni 2004.
PB XII tidak memiliki permaisuri resmi, melainkan sejumlah selir. Tidak ada penunjukan putra mahkota secara jelas, sehingga anak-anak dari selir berbeda saling mengklaim tahta.
Putra tertua PB XII dari selir ketiga, Sinuhan Hangabehi, mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 31 Agustus 2004, didukung sebagian kerabat, termasuk Gusti Moeng.
Baca Juga: Ditangkap Polsek Penjaringan, Polisi Gadungan Penipu Ojol Ternyata Residivis Kambuhan
Di sisi lain, Sinuhan Tedjowulan, putra dari selir lain, juga menyatakan diri sebagai raja pada 9 November 2004, menciptakan dua raja sekaligus di keraton.
Sejarawan lokal Ibu Retno Dumilah menuturkan, "Dua deklarasi itu bukan sekadar pertentangan pribadi. Ini perselisihan adat dan politik yang sudah tertanam berpuluh tahun. Siapa yang lebih sah, tergantung dari perspektif keluarga, abdi dalem, dan catatan sejarah."
Konflik berlanjut meski ada upaya damai pada 2012 oleh Wali Kota Solo kala itu, Joko Widodo, bersama anggota DPR Mooryati Sudibyo. Hasilnya, Hangabehi tetap PB XIII, sedangkan Tedjowulan diangkat sebagai mahapatih dengan gelar KGPH Panembahan Agung.
Ketegangan yang Tidak Pernah Padam
Meskipun ada rekonsiliasi, sebagian keturunan PB XII menolak keputusan tersebut. Mereka mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) untuk mempertahankan interpretasi adat mereka. LDA bahkan memberhentikan PB XIII karena dianggap melanggar aturan adat, menutup pintu keraton bagi raja baru dan pendukungnya.
Pada April 2017, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani dan beberapa abdi dalem terkurung di Keputren, kediaman putri-putri raja. Presiden Jokowi mengutus anggota Watimpres, Jenderal Purn Subagyo Hadisiswoyo, untuk mendamaikan, tetapi upaya itu gagal.
Insiden memanas kembali pada Februari 2021. Lima orang, termasuk cucu PB XIII, terkunci di istana. Salah satu korban, BRM Suryo Mulyo, sempat menuturkan:
"Saya diginiin (menirukan ditodong pistol). Bisa diam tidak, Mas? Jangan karena saya tidak memakai seragam lantas Anda menyepelekan aparat."
Kepolisian Solo membantah adanya penodongan oleh anggota mereka, tetapi insiden ini menegaskan betapa tegangnya situasi di keraton.
Artikel Terkait
Konflik Keraton Solo: Perebutan Takhta, Seteru Keluarga, dan Harapan Damai
Kehidupan Putri Keraton Solo Usai PB XIII Wafat, GRAj Putri Purnaningrum Tuai Sorotan karena Nikah dengan Pria Nonbangsawan
Memorial PB XIII, Raja Penyatu Keraton Solo: Warisan Sejarah, Badai Suksesi, dan Dualisme Takhta
Dua Versi Penerus Tahta Keraton Solo Muncul Jelang Pemakaman Pakubuwono XIII, Double Raja di Keraton Solo?
Sejarah Raja Solo dari Masa ke Masa, Berakhirnya PB XIII dan Lahirnya Sang Raja Muda PB XIV
Penobatan Raja Baru Paku Buwono XIV di Keraton Solo Digelar Sabtu, Simbol Regenerasi Adat yang Sakral