• Senin, 22 Desember 2025

Suksesi Keraton Solo: Dari PB XIII ke PB XIV, Konflik Dualisme Tahta dan Legitimasi yang Menjadi Sorotan

Photo Author
- Jumat, 14 November 2025 | 09:29 WIB
Sejarawan ungkap tantangan suksesi Keraton Solo: Dari PB XIII ke PB XIV. (Instagram @kraton_solo)
Sejarawan ungkap tantangan suksesi Keraton Solo: Dari PB XIII ke PB XIV. (Instagram @kraton_solo)

Situasi ini menegaskan bahwa proses suksesi Keraton Solo tidak sekadar soal warisan tahta, tetapi juga soal pengakuan keluarga dan masyarakat luas.

Baca Juga: Drama Miss Universe 2025: Direktur Miss Meksiko Ditangkap di Thailand, Konflik Fatima Bosch Memanas

Akar Perselisihan Sejak 2004

Sejarah panjang konflik suksesi di Keraton Solo berawal dari wafatnya Pakubuwono XII pada 12 Juni 2004.

PB XII tidak memiliki permaisuri resmi, melainkan sejumlah selir. Tidak ada penunjukan putra mahkota secara jelas, sehingga anak-anak dari selir berbeda saling mengklaim tahta.

Putra tertua PB XII dari selir ketiga, Sinuhan Hangabehi, mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 31 Agustus 2004, didukung sebagian kerabat, termasuk Gusti Moeng.

Baca Juga: Ditangkap Polsek Penjaringan, Polisi Gadungan Penipu Ojol Ternyata Residivis Kambuhan

Di sisi lain, Sinuhan Tedjowulan, putra dari selir lain, juga menyatakan diri sebagai raja pada 9 November 2004, menciptakan dua raja sekaligus di keraton.

Sejarawan lokal Ibu Retno Dumilah menuturkan, "Dua deklarasi itu bukan sekadar pertentangan pribadi. Ini perselisihan adat dan politik yang sudah tertanam berpuluh tahun. Siapa yang lebih sah, tergantung dari perspektif keluarga, abdi dalem, dan catatan sejarah."

Konflik berlanjut meski ada upaya damai pada 2012 oleh Wali Kota Solo kala itu, Joko Widodo, bersama anggota DPR Mooryati Sudibyo. Hasilnya, Hangabehi tetap PB XIII, sedangkan Tedjowulan diangkat sebagai mahapatih dengan gelar KGPH Panembahan Agung.

Baca Juga: Presiden Prabowo Siapkan Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi Bertepatan Hari HAM Sedunia, Ini Kata Pemerintah

Ketegangan yang Tidak Pernah Padam

Meskipun ada rekonsiliasi, sebagian keturunan PB XII menolak keputusan tersebut. Mereka mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) untuk mempertahankan interpretasi adat mereka. LDA bahkan memberhentikan PB XIII karena dianggap melanggar aturan adat, menutup pintu keraton bagi raja baru dan pendukungnya.

Pada April 2017, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani dan beberapa abdi dalem terkurung di Keputren, kediaman putri-putri raja. Presiden Jokowi mengutus anggota Watimpres, Jenderal Purn Subagyo Hadisiswoyo, untuk mendamaikan, tetapi upaya itu gagal.

Insiden memanas kembali pada Februari 2021. Lima orang, termasuk cucu PB XIII, terkunci di istana. Salah satu korban, BRM Suryo Mulyo, sempat menuturkan:

"Saya diginiin (menirukan ditodong pistol). Bisa diam tidak, Mas? Jangan karena saya tidak memakai seragam lantas Anda menyepelekan aparat."

Kepolisian Solo membantah adanya penodongan oleh anggota mereka, tetapi insiden ini menegaskan betapa tegangnya situasi di keraton.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rat Nugra

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X