• Senin, 22 Desember 2025

Konflik Keraton Solo: Perebutan Takhta, Seteru Keluarga, dan Harapan Damai 

Photo Author
- Senin, 3 November 2025 | 15:30 WIB
 Perebutan takhta sejak wafatnya PB XII. (X @yosefikr)
 Perebutan takhta sejak wafatnya PB XII. (X @yosefikr)

KONTEKS.CO.ID - Kisruh di Keraton Surakarta atau Keraton Solo bukan hal baru. Seteru antar keturunan raja telah berlangsung hampir dua dekade.

Beberapa tahun lalu, situasi kembali panas setelah pihak PB XIII Hangabehi diduga mengusir keturunan PB XII dari kompleks keraton. Penetapan Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Purbaya sebagai putra mahkota pun kembali dipersoalkan.

Konflik serupa pernah mencuri perhatian publik pada 2021, ketika lima orang termasuk GKR Wandansari (Gusti Moeng) dan GKR Timur Rumbai terkunci di dalam area keraton.

Baca Juga: HYDE Guncang Tennis Indoor Jakarta: Konser INSIDE LIVE 2025 Penuh Energi dan Kejutan Encore

Peristiwa ini menjadi simbol nyata betapa dalamnya perpecahan di lingkungan keluarga kerajaan yang seharusnya menjaga warisan budaya Jawa.

Perebutan Takhta Sejak Wafatnya PB XII

Akar dari konflik ini bermula setelah wafatnya PB XII pada 12 Juni 2004. Sang raja tidak memiliki permaisuri dan belum menunjuk penerus takhta. Akibatnya, para keturunan PB XII saling mengklaim sebagai pewaris sah.

Dua kubu pun muncul yaitu Hangabehi dan Tedjowulan, yang masing-masing mendeklarasikan diri sebagai PB XIII di tahun yang sama.

Hangabehi, putra tertua dari selir ketiga PB XII, memproklamirkan diri sebagai PB XIII pada 31 Agustus 2004.

Baca Juga: Proses Red Notice Riza Chalid dan Jurist Tan Masih Dikaji Interpol, Polisi: Perlu Kesabaran

Sementara Tedjowulan, perwira TNI berpangkat Letkol, menyatakan hal serupa pada 9 November 2004. Sejak itu, Keraton Solo memiliki dua raja, sebuah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kerajaan Jawa.

Upaya Damai dan Rekonsiliasi yang Tak Bertahan Lama

Upaya perdamaian dilakukan pada 2012 oleh Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo, bersama tokoh budaya Mooryati Sudibyo.

Mereka berhasil mempertemukan PB XIII Hangabehi dan Tedjowulan untuk menandatangani akta rekonsiliasi.

Berdasarkan kesepakatan itu, Hangabehi tetap menjadi raja, sementara Tedjowulan menjabat mahapatih bergelar KGPH Panembahan Agung.

Baca Juga: HYDE Guncang Tennis Indoor Jakarta: Konser INSIDE LIVE 2025 Penuh Energi dan Kejutan Encore

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rat Nugra

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X