• Minggu, 21 Desember 2025

Uang Pengganti Kerugian Negara Rp13 Triliun Tak Hapus Pidana Korupsi Ekspor CPO Sawit

Photo Author
- Selasa, 21 Oktober 2025 | 15:54 WIB
Presiden Prabowo Subianto berdiri di depan tumpukan triliunan uang pengganti kerugian negara dari korupsi fasilitas ekspor CPO dan minyak sawit. (KONTEKS.CO.ID/Dok. Kejagung)
Presiden Prabowo Subianto berdiri di depan tumpukan triliunan uang pengganti kerugian negara dari korupsi fasilitas ekspor CPO dan minyak sawit. (KONTEKS.CO.ID/Dok. Kejagung)
 
KONTEKS.CO.ID – Pakar hukum pidana dari Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta, Hery Firmansyah, mengatakan, pengembalian hasil korupsi misalnya uang tidak menghapus tindak pidananya.
 
"Saya melihatnya bahwa ketentuan Pasal 4 [UU Pemberantasan Korupsi] ini masih jadi normatifnya kita, untuk kita pegang," kata Hery di Jakarta, Selasa, 21 Oktober 2025.
 
Ia menyampaikan keterangan tersebut menjawab perdebatan publik, apakah setelah terpidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya membayar uang pengganti bisa bebas dari hukuman.
 
 
"Pasal 4 jadi perdebatan, adalah apakah seseorang yang sudah mengembalikan hasil kejahatan korupsi itu dihapus tindak pindananya?" kata dia. 
 
Adapun Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni: Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
 
Sedangkan pengembalian uang pengganti kerugian negara dalam perkara Korupsi Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan Turunannya, sejumlah Rp17 triliun, Hery menilai tahapannya masih panjang.
 
 
Pasalnya, kata dia, dari Rp17 triliun tersebut baru Rp13,2 triliun yang berhasil dieksekusi dan disetor ke kas negara. "Masih ada utang Rp4 triliun."
 
Hery menjelaskan, terhadap sisa kerugian negara sejumlah Rp4 triliun yang belum dieksekusi, sesuai UU Pemberantasan Korupsi yang sudah menyesuaikan dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003, jumlahnya tidak bisa kurang.
 
"Itu kan di Pasal 18 dikatakan bahwa hasil kejahatan korupsi itu harus dikembalikan," ujarnya.
 
 
Sesuai pasal itu, kata dia, jumlah atau nilainya minimal sama dengan kejahatan korupsi yang sudah diperoleh oleh pelaku tindak pindana korupsi tersebut.
  
Jika terpidana tidak mempunyai uang sejumlah Rp4 triliun, maka jaksa eksekutor bisa menelusuri aset-aset terpidana untuk membayar itu. 
 
"Kalau di konteks itu, kita akan melihat tentang aset tracking, misalnya aset freezing, sampai kepada perampasan aset untuk bisa dieksekusi," ujarnya. 
 
 
Sedangkan ketika disinggung apakah Prabowo akan memberikan pengampunan mengingat beberapa waktu lalu sempat menyebut memaafkan koruptor, Hery mengatakan, itu harus ditanyakan kepada dia.
 
"Ya lebih tepatnya nanti Pak Prabowo bisa jawab itu. Tapi dalam konteks ini, saya melihatnya bahwa ketentuan Pasal 4 ini masih jadi normatifnya kita, untuk kita pegang," ucapnya. 
 
 
Lantas ia menjelaskan, jika perkaranya masih di persidangan, tidak menutup kemungkinan pengembalian uang hasil korupsi akan menjadi pertimbangan majelis hakim sebagai hal yang meringankan hukuman. 
 
"Kita tidak bisa menyalahkan juga, karena dalam konteks Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kan hakim punya independensi di sana, kita enggak bisa masuk ke ranah itu," ucapnya.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Setiawan Konteks

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X