kontekstory

Mengenal Riwu Ga si ‘Angalai' Soekarno: Terompet Proklamasi dan Paspampres Pertama Indonesia yang Terlupakan

Minggu, 10 Agustus 2025 | 09:00 WIB
Foto atas: Riwu Ga si terompet proklamasi tengah menggendong Guntur bersama Fatmawati (menggendong Megawati) dan Soekarno. Foto bawah: Riwu Ga bersama anaknya di hutan Gewang, pedalaman Pulau Timor. (Foto: Repro Buku Kako Lami Angalai)

Sekarang Giliran Angalai

Siang itu, 17 Agustus 1945, Soekarno sedang berpikir keras. Setelah membacakan proklamasi bersama Bung Hatta dan aktivis pergerakan lain di Jl Pengangsaan Timur 56, Si Bung Besar sedang menimbang, cara apa yang paling tepat agar rakyat Jakarta mengetahui bahwa Indonesia sudah merdeka.

Baca Juga: Sakiko Kanase, Istri Jepang Soekarno yang Bunuh Diri di Kamar Mandi Karena Cemburu

Melalui radio, mustahil. Stasiun radio dikuasai Jepang, dan mereka menolak keabsahan proklamasi. Selain itu, rakyat yang memiliki radio jumlahnya sedikit.

Soekarno pun memanggil pelayan sekaligus pengawal kesayangannya, Riwu Ga. "Angalai (sahabat), sekarang giliran Angalai," kata Soekarno, "Sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera."

Tak berpikir dua kali, Riwu langsung menjalankan tugas mulia tersebut. Kemungkinan dicegat atau bahkan ditembak oleh tentara Jepang tidak membuat ia gentar.

Baca Juga: SDSB: Hikayat Judi Legal di Indonesia di Era Orde Baru, Jejaknya Ada Sejak Zaman Soekarno untuk Bangun Jakarta

Bersama Sarwoko, adik Mr Sartono yang menyetir jip terbuka, Riwu naik ke atas jip dan mengibarkan bendera Merah Putih.

"Saya berteriak 'Indonesia sudah merdeka' di sepanjang jalan dengan megafon. Rakyat tumpah di setiap mulut gang, mereka menyambut dengan gegap gempita mengepalkan tangan menirukan teriakan saya, banyak yang menangis gembira," ujar Riwu seperti ditulis Peter A Rohi di Tabloid Mutiara edisi Agustus 1995.

Riwu dan Sarwoko memulai perjalanan menjadi terompet proklamasi itu dari Pengangsaan ke arah Tanah Abang, lalu ke Pasar Baru, dan berputar ke arah Jatinegara. Dari situ mereka berdua menuju ke Pasar Ikan, Jakarta Utara, dan sudut-sudut Jakarta lainnya.

Baca Juga: Dentuman Hidup Ozzy Osbourne, Pangeran Kegelapan Pengusung Heavy Metal yang Ngerock Hingga Ajal

"Hari itu seluruh Jakarta mendengar berita kemerdekaan dari mulut saya, seorang pemuda Sabu yang buta huruf," ujar Riwu. Ini mengingatkannya pada pada masa 11 tahun sebelumnya saat berjalan kaki keliling Kota Ende menjajakan kue jualannya  

Berawal dari Pisang Goreng si "Wo"

Dalam buku "Kako Lami Angalai?" karya Peter A Rohi, Riwu menuturkan perkenalannya dengan Bung Karno yang terjadi secara tak sengaja pada tahun 1934.

Di suatu senja, Riwu yang baru berusia 16 tahun sedang menjajakan kue keliling kota Ende. Saat lewat di depan rumah tempat pembuangan Soekarno, langkah Riwu terhenti karena dipanggil oleh Inggit Garnasih dan anak angkatnya Ratna Djuami (Omi). Keduanya hendak membeli pisang goreng.

Baca Juga: Indonesia Pernah Hampir Punya Nuklir di Era Soekarno, Bikin Negara Tetangga Ketar-ketir

Entah kenapa, Inggit yang melihat Riwu Ga langsung menawarinya kerja dan tinggal di rumah itu dengan gaji Rp1 per bulan. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran pekerja rumah tangga di masa itu.

Halaman:

Tags

Terkini