Itu tidak mengherankan mengingat lapangan terbang Sarajevo dimiliki oleh dua pihak. Wilayah dari ujung ke ujung landasan adalah milik Serbia, sementara samping kiri-kanannya dikuasai Bosnia.
Suasana menjadi tegang karena Soeharto belum juga mengenakan rompi antipeluru dan helm.
Sjafrie mencari akal agar Soeharto mau memakai rompi dan helm untuk memenuhi prosedur keselamatan internasional.
Baca Juga: Eva Braun, 'Si Pirang Bodoh' Istri Sehari Adolf Hitler, Nyatanya Pemain Politik Kunci di Third Reich
Ia pun sengaja pindah duduk ke kursi di depan Soeharto sembari memegang rompi dan helm. Sjafrie berharap Soeharto memintanya. Alih-alih mengambilnya, Soeharto malah berkata, "Helmnya nanti masukkan ke Taman Mini, ya! Nanti helmnya masukkan ke (Museum) Purna Bhakti."
Ini artinya, Soeharto tidak mau pakai helm. Namun Sjafrie tetap memegang rompi dan berharap Soeharto mau memakainya. Tapi ia kembali kecele saat soeharto mengatakan, "Eh, Sjafrie, Itu, rompi itu kamu cangking (tenteng). Kamu cangking saja," kata Soeharto.
Sjafrie melanjutkan, semua penumpang di pesawat memakai rompi antipeluru yang cukup tebal seberat 12 kg. Rompi ditaruh di jas terus ditutup dengan overcoat sehingga tidak kelihatan.
"Hanya Pak Harto yang tetap hanya mengenakan jas dan kopiah. Saya pun mengambil keputusan memakai kopiah juga, untung ada rekan wartawan yang membawanya dan langsung saya pinjam. Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," tulis Sjafrie dalam buku tersebut.
Selanjutnya, Soeharto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Sehari sebelum berangkat, tulis Sjafrie, Soeharto memberi instruksi langsung yang menempatkan saya berada di dekatnya, sementara Dandenwalpri Mayor CPM Unggul berjalan agak di depan.
"Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai para pengawalnya pun menjadi ikut kuat, tenang, dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah?" kenang Sjafrie dalam buku setebal 603 halaman itu.
Baca Juga: Erwin Rommel: Jenderal Hebat Pahlawan Jerman, Mati Menelan Kapsul Sianida Demi Melindungi Keluarga
Sempat Meredup, Lalu Kembali Bersinar
Pascakerusuhan Mei 1998, kemilau karier Sjafrie meredup, sama dengan konconya- Prabowo - yang malah diberhentikan dari dinas militer. Jabatannya sebagai Pangdam Jaya digantikan dengan Mayjen Djaja Suparman.
Sjafrie tetap di mliter, tetapi berkutat di jabatan administratif. Ia dimutasi ke Mabes TNI sebagai Asisten Teritorial Kasum TNI. Ia juga sempat menjadi Staf Ahli Polhukam Panglima TNI.
Kemudian Sjafrie bergeser menjadi Kapuspen TNI pada 2002 dan kemudian menjadi Sekjen Dephan pada 2005. Pangkatnya naik menjadi bintang tiga.