Baca Juga: Barisan Terate, Pasukan Khusus Pelacur dan Maling Penghancur Daya Tempur Belanda
Instruktur kedua dari Mossad datang pagi pada Februari 1973. Kali ini, tugas si instruktur adalah memberikan pelatihan kontraspionase dan bagaimana menggunakan agen dalam melakukan kegiatan kontra-intelijen. Peserta kelas kedua ini seluruhnya dari Satsus Intel.
Hubungan dengan Mossad lumayan awet. Pada 1983, seorang penasihat Israel datang ke Jakarta untuk mengajarkan teknik intelijen kepada lima intel yang akan menjalani penempatan di luar negeri.
Salah seorang peserta menuturkan, dia sampai 15 kali diajak ke sebuah hotel. Hingga satu kali sang instruktur menunjuk seseorang yang duduk seorang diri di lobi.
Baca Juga: Dua Dunia Ratmi B29: Veteran Perang Peraih Bintang Gerilya Hingga Ratu Panggung Hiburan
"Saya hanya diberi waktu 15 menit untuk mengarang cerita, memperkenalkan diri, dan meyakinkan orang itu untuk bertemu kembali di lobi jam tujuh malam. Jika si target menunggu saya malam itu, berarti saya berhasil," tutur seorang mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Mengawasi Agen Blok Timur
Seusai menjalani pelatihan, para anggota Satsus Intel pun mulai terjuan ke lapangan. Di antara negara-negara komunis yang ada, Satsus Intel memberi perhatian sangat ketat kepada Uni Soviet, negara kuat yang saat itu terlibat perang dingin dengan Amerika.
Ternyata, mengikuti jejak aktivitas para agen Soviet di Indonesia ternyata lebih sulit dari dugaan semula. Tercatat ada 90 diplomat resmi dan lebih dari 170 orang Soviet berada di Indonesia. Mereka tersebar di berbagai kota seperti Banjarmasin, Medan, dan Surabaya.
Baca Juga: Kisah Gusti Nurul, Kembang Mangkunegara Pujaan Tentara, Sultan, Hingga Perdana Menteri dan Presiden
Dari jumlah itu, Satsus Intel meyakini setidaknya 60 orang Soviet terlibat dalam kegiatan spionase di Indonesia. Mereka adalah anggota Dinas Intelijen Soviet (KGB)Badan Intelijen militer Soviet (GRU).
Kerumitan bertambah karena para mata-mata Soviet ini sudah mempersiapkan diri dalam tugasnya. Banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun belajar Bahasa Indonesia dan berulangkali bertugas di Indonesia.
Salah satunya adalah Anatoliy Babkin. Pria kelahiran Moskow pada 1931 ini awal pertama kali datang ke Jakarta pada 1956 sebagai atase politik rendahan. Lima tahun kemudian ia kembali lagi ke Jakarta dan menempati posisi sebagai Sekretaris Kedua.
Baca Juga: Nestapa The Sin Nio, Mulan Versi Indonesia yang Jadi Gelandangan di Akhir Hidupnya
Pada 1966 ia datang ketiga kalinya ke Jakarta dan langsung menempati jabatan Sekretaris Pertama. Saat tiba ke Jakarta untuk keempat kalinya pada 1969, Babkin menjalani penugasan sebagai Konselor.
Berdasarkan laporan CIA kepada Satsus Intel, Babkin adalah Rezident, jabatan di KGB yang setara dengan Kepala Stasiun-nya CIA.
Lebih rumit lagi, dua negara anggota Pakta Warsawa ikut bermain dalam aktivitas intelijen di Indonesia. Kedua negara itu, Cekoslowakia dan Jerman Timur, berada di bawah koordinasi Soviet. Negara komunis lainnya yaitu Vietnam Utara dan Korea Utara juga menyamarkan para spionnya sebagai staf kedutaan.
Baca Juga: Sejarah Rumah Sriwijaya: Monumen Keteguhan Hati Bu Fat yang Menjadi Cagar Budaya
Dengan jumlah personel yang minim, Satsus Intel harus pandai-pandai memilih target yang akan mereka intai.
Satsus Intel Diremehkan
Bram Mandagi, seorang mantan spycatcher atau penangkap mata-mata dari Satsus Intel, mengatakan bahwa awalnya para intel Soviet meremehkan mereka. Para anggota KGB dan GRU itu tidak berusaha maksimal untuk menghindari pengamatan Satsus Intel. Mereka bahkan sering bertingkah sembrono dan konyol.
Salah satunya adalah Boris Lapiane, agen lapangan KGB yang jabatan resminya Deputi Atase Kebudayaan Soviet. Lelaki ini gampang mabuk karena alkohol. Para agen Satsus Intel yang beberapa kali mengikutinya di tempat hiburan malam kerap mendapati lelaki itu minum hingga tak sadarkan diri.
Baca Juga: Jarang Ada yang Tahu! Tiga Kota Ini Punya Penganut Agama Yahudi Terbesar di Indonesia
Puncaknya pada 21 April 1970 dini hari. Boris yang mabuk berat hampir dipermak orang di Klub 69. Gara-garanya sepele, ia mematikan puntung rokoknya ke mangkuk bubur ayam seorang anggota Keraton Solo.
Berkat campur tangan agen Satsus Intel yang menguntitnya, Boris berhasil diselamatkan diam-diam.
Ada lagi seorang agen Soviet yang sembrono, namanya Vladislav Romanov. Ia adalah ahli bahasa yang tercatat dalam daftar diplomat Soviet sebagai Atase Politik.
Baca Juga: Tradisi Mudik Ada Sejak Era Majapahit, Awalnya Tidak Terkait Idul Fitri
Romanov gemar sekali mencari hiburan malam dan wanita-wanita Tionghoa. Satsus Intel akhirnya mengetahui bahwa Romanov memacari menantu pemilik sebuah restoran China terkenal di Menteng.
Satsus Intel kemudian mendekati sang gadis tak lama setelah hubungan gelap itu terjalin. Hasilnya, sang gadis terbukti mampu memberikan informasi yang berasal dari tempat tidur.
Membongkar Infiltrasi Soviet
Meski beberapa agen intel Soviet kurang profesional, bukan berarti tidak ada yang tangguh dari mereka.
Baca Juga: Sejarah Piala Eropa atau Euro: Diawali Mimpi Henri Delaunay, Sudah Tiga Kali Ganti Nama
Salah satu yang paling berbahaya adalah agen KGB Oleg Brykin. Oleg terkenal piawai membangun jaringan dan mampu merekrut diplomat diplomat negara lain agar mau bekerja untuk kepentingannya.
Pada awal 1970an, Satsus Intel mengantongi laporan bahwa Oleg telah merekrut dua orang yang bekerja di kedutaan Inggris.
Pada pertengahan 1972, Satsus Intel berhasil mengkooptasi Nikolai Grigoryevich Petrov, seorang Kapten GRU berusia 33 tahun. Melalui pasokan informasi Petrov, Satsus Intel mengetahui banyak hal terkait infiltrasi (penyusupan) mata-mata Soviet di tubuh militer Indonesia.
Baca Juga: Menteri Jusuf Muda Dalam: Terlibat Skandal dengan Banyak Perempuan, Koruptor Pertama Indonesia yang Divonis Mati
Dari laporan Petrov, Satsus Intel tahu GRU telah berhasil merekrut seorang letnan angkatan udara produktif yang bertugas di bagian teknik. Terungkap juga adanya agen yang menduduki posisi penting di Pangkalan Angkatan Laut Surabaya.
Petrov juga buka suara bahwa perekrut ulung di tubuh militer Indonesia bernama Vladimir Abromov. Abromov yang berumur 48 tahun merupakan salah satu dari sepuluh orang kontingen GRU yang datang ke Indonesia bersama Petrov.
Operasi Non Spionase
Tidak hanya operasi menangkap para mata-mata saja, Satsus Intel juga berhasil dalam operasi di luar dunia spionase. Salah satu kisah sukses operasi Satsus Intel di luar tugas utamanya adalah operasi bersandi "sapu bersih".
Artikel Terkait
Seo Kang Joon Jadi Intel di Drama Komedi Undercover High School, Berikut Sinopsis dan Jadwal Tayangnya!
Demi Pepet NVIDIA dan AMD, Intel Tega PHK 15.000 Pekerja
Intelijen Israel Sebut Iran Lakukan Persiapan Serangan Lebih Besar dari Bulan April Lalu
HP Omen 16 Max: Laptop Gaming Terbaru dengan Prosesor Intel Core Ultra 9 dan GPU Nvidia RTX 5080
Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin