Baca Juga: Mengenal John D Arnold, Penyuka Matematika yang Jadi Legenda Trader AS di Usia Belia
"Situasi jadi sulit. Kita keluar masuk setiap hari, ada intel. Banyak sekali, bahkan saat Lebaran, intelnya sudah nongkrong depan pintu," cerita Mia Puspawati, asisten pribadi Ali Sadikin, melansir dari YouTube Kompas TV.
"Pak Ali, tahu sendiri kan, beliau bagaimana. Berhenti depan mobil. Pak Ali memanggil, masuk! Tapi tidak ada yang berani masuk. Intelnya bilang jaga Bapak. Malah beritahu Pak Ali, intelnya banyak, ada yang dari sini, dari situ," jelas Mia.
Iwan Sadikin, anak ketiga Ali Sadikin mengaku banyak orang menjaga jarak dengannya karena mengetahui dia anak Ali Sadikin.
Baca Juga: Cerita Tentang Werner Verrips, Agen CIA Perampok Javasche Bank Surabaya yang Tewas Misterius
'Mungkin, karena nama saya, ada Sadikin nya, mereka jaga jarak. Mereka berubah kalau tahu saya anak Ali Sadikin. Kakak saya mau kredit usaha juga tidak berhasil karena namanya ada embel-embel Sadikin," jelas Iwan.
Sudomo Pengendali Petisi 50
Soeharto lantas mengutus Sudomo yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan untuk mengendalikan tokoh Petisi 50.
"Mencekal tokoh Petisi 50 adalah tanggung jawab saya. Kalau Ali dan yang lain mau menuntut ke pengadilan, saya hadapi," tutur Sudomo dalam buku "Pers Bertanya Ali Menjawab".
Baca Juga: Jarang Terungkap! Peran Penting Polisi Menumpas G30S PKI di Surakarta
Bahkan pada 1985, lima tahun setelah petisi 50 berdiri, Kompas memberitakan pemerintah menyeret beberapa anggota Petisi 50 ada dengan tuduhan melakukan subversi. Salah satunya mantan Pangdam Siliwangi Mayjen (Purn) HR Dharsono.
Pasca Petisi 50, mereka-mereka yang berseberangan dengan pemerintah mengalami penghilangan paksa yang berujung penghilangan nyawa.
Sejumlah peristiwa berdarah terjadi akibat upaya menyiapkan kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Baca Juga: Unik, Ternyata Candu Pernah Jadi Sumber Devisa Indonesia, Begini Ceritanya
UU Subversif
Saat Orba berkuasa, sebuah undang-undang warisan Soekarno masih terpakai yaitu Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1994 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
UU Subversi menjadi alat untuk membungkam lawan politik rezim Orde Baru.
Melansir dari Artikel Undang-Undang tentang Subversi yang ditulis Ariel Heryanto, profesor kajian Indonesia Monash University Australia yang terbit di Kompas 17 Februari 1996, UU itu merajalela.
Baca Juga: Maung Bikang, Laskar Mojang Bandung yang Bikin Ciut Nyali Penjajah
UU Subversi tidak hanya mengena ke pejabat tinggi era Soekarno, Soeharto, tapi juga petani pedesaan dan intelektual muda.
"Nyaris ada 500 narapidana subversi pada 1989. Dua kategori yang jadi andalan pihak berwajib adalah ekstrem kiri dan ekstrem kanan," tulis Ariel.
Menurut Ariel, ada nyaris 500 narapidana subversi pada 1989. Dua kategori yang biasa digunakan pihak keamanan, yaitu ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Baca Juga: Barisan Terate, Pasukan Khusus Pelacur dan Maling Penghancur Daya Tempur Belanda
Pasal Penghinaan Presiden Menyasar Mahasiswa
Pasal penghinaan presiden pun menyasar mahasiswa. Hal ini menimpa 4 mahasiswa Universitas Jayabaya, Berny M Tamara, Muslim Sri Utomo, Irzal Q, dan Susatyo Hendro Tjanjono. Mereka menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1977.
Melansir Tempo edisi 11 Juni 1977, mereka mendapat tuduhan telah menghina Soeharto dan Ibu Negara saat menggelar Pekan Orientasi Mahasiswa (Posma) pada 1976.
Mereka mengangkat dugaan korupsi di Pertamina yang kala itu sedang viral. Lalu mereka menggunting kata-kata di koran dan majalah. Kertas itu tersebar hingga beredar ke luar kampus.
Baca Juga: Dua Dunia Ratmi B29: Veteran Perang Peraih Bintang Gerilya Hingga Ratu Panggung Hiburan
Mereka pun menjadi terdakwa kasus penghinaan Presiden dan istri. Hakim memutuskan hukuman satu tahun penjara meskipun jaksa menuntut dua tahun penjara. Mahasiswa tersebut menjadi terdakwa tanpa pengacara.
Selain itu, ada Sri Bintang Pamungkas juga masuk penjara dengan tuduhan menghina Soeharto. Begitu juga dengan mantan guru dan wartawan, Wimanjaya yang menulis buku berjudul "Primadosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto" pada 1993.
Buku itu disebut menghina Soeharto. Bahkan beliau sempat menyinggung buku itu saat berdialog santai di peternakan Tri S Tapos Bogor di depan 100 perwira Angkatan Laut pada 1994.
Baca Juga: Kisah Gusti Nurul, Kembang Mangkunegara Pujaan Tentara, Sultan, Hingga Perdana Menteri dan Presiden
"Isinya menggugat pemerintah sekarang, menggugat saya bahwa saya yang menciptakan G30S/PKI. Mereka memutarbalikan itu," katanya.
Wimanjaya diadili dan terancam hukuman penjara 7 tahun 4 bulan, tetapi kemudian dilepas tanpa alasan jelas.***
Artikel Terkait
Profil Ridwan Saidi: Budayawan yang Jadi Anggota DPR Orde Baru
Pengakuan Rektor Unissula Semarang, Diminta Tak Ikuti Jejak Kampus Lain Kritik Presiden Jokowi
Pengamat Kritik Perilaku Lewis Hamilton dalam Hari-Hari Pertama di Ferrari
Abidzar Al-Ghifari Dihujani Kritik di A Business Proposal, Ini Tanggapannya!
Ugal-ugalan Donald Trump, Mau Bubarkan Departemen Pendidikan Peninggalan Presiden Jimmy Carter