• Minggu, 21 Desember 2025

Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Ulama Penginjil yang Memperluas Arah Sejarah Kekristenan Jawa

Photo Author
- Minggu, 21 Desember 2025 | 09:00 WIB
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, penggali Kristen Jawa. (YouTube Nugroho Triko Pramono, Majalah Intisari - Edisi 711)
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, penggali Kristen Jawa. (YouTube Nugroho Triko Pramono, Majalah Intisari - Edisi 711)

Identitas inilah yang kelak membuat ajaran Ibrahim Tunggul Wulung mudah diterima masyarakat Jawa.

Wahyu Sepuluh Hukum dan Jalan Menuju Kristen Jawa

Menurut catatan J D Wolterbeek dalam "Babad Zending ing Tanah Jawi", suatu hari Tunggul Wulung menemukan selembar kertas bertuliskan Sepuluh Hukum Allah di bawah tikar pertapaannya.

Ia mengaku mendapat petunjuk Ilahi agar menaati hukum tersebut dan mencari ajaran agama sejati ke wilayah Sidoarjo dan Mojowarno.

Baca Juga: Jejak Kerusuhan Politik di Indonesia dari Anarkisme Reformasi 1998 Hingga Demo Algoritma 2025

Perjalanan spiritual ini membawanya bertemu Nyai Endang Sampurnawati, yang kemudian menjadi istrinya.

Di Mojowarno, Tunggul Wulung belajar membaca, menulis, dan mendalami Injil langsung dari Jellesma selama dua bulan.

Pada Mei 1855, keduanya dibaptis. Sejak itu, nama Ibrahim melekat pada Tunggul Wulung, menandai fase baru dalam hidupnya sebagai penginjil pribumi.

Gereja yang dulu dirintis oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. (YouTube Nugroho Triko Pramono)

Baca Juga: Jejak Legenda Tentara Bayaran Bob Denard : 'Si Dogs of War' Pembunuh 4 Presiden di Afrika, Pengguling Belasan Rezim

Pekabaran Injil Rasa Jawa: Yesus adalah Ratu Adil Sejati

Sembari terus belajar, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga mulai mengabarkan Injil. Bedanya, ia tidak menyebarkan Injil dengan cara Barat. Ia mengenalkan agam Kristen kepada masyarakat Jawa lewat tembang, simbol, dan bahasa keseharian rakyat.

Salah satu warisan terpentingnya adalah tembang Sri Kuning, yang merangkum ajaran Kristologi Yesus sebagai Ratu Adil sejati.

Yesus tidak hanya dipahami sebagai Juruselamat, tetapi juga Raja, Imam, dan Nabi yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Dasa Titah dibaca berdampingan dengan ajaran Matius ayat 5 yang menekankan kelembutan, lapar akan keadilan, dan kasih kepada sesama.

Baca Juga: Mengenal Profesi Gowok, Guru Seksualitas ala Jawa Tradisional: Warisan Leluhur yang Tabu Tapi Dihormati

Baginya, belas kasihan Allah bukan untuk disimpan sendiri. Itu harus diteruskan lewat tindakan nyata membangun komunitas yang adil dan saling menolong.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Jimmy Radjah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X