• Senin, 22 Desember 2025

Pakar Vatikan Sebut Ada Kemungkinan Paus Berikutnya Berasal dari Negara Mayoritas Muslim

Photo Author
- Senin, 5 Mei 2025 | 21:18 WIB
Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta Adi Prasojo (kiri) bersama Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo yang akan berpotensi menggantikan Paus Fransiskus. (Dok Pribadi Adi Prasojo)
Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta Adi Prasojo (kiri) bersama Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo yang akan berpotensi menggantikan Paus Fransiskus. (Dok Pribadi Adi Prasojo)


KONTEKS.CO.ID - Hari Rabu tanggal 7 Mei 2025, prosesi konklaf atau pemilihan Paus baru untuk menggantikan mendiang Paus Fransiskus akan dimulai di Kapel Sistina.

Sejumlah pengamat atau pakar Kepausan Vatikan memprediksi apa yang akan terjadi di Kapel Sistina. Salah satunya, kemungkinan Paus berikutnya berasal dari luar Asia atau Afribk.

Bahkan ada yang keluar pakem. Mereka meramalkan ada peluang pemimpin Gereja Katolik Dunia berikutnya adalah dari kardinal negara mayoritas berpenduduk Muslim.

Baca Juga: Hasan Nasbi Hadiri Sidang Kabinet, Prabowo Sebut Maklum Juru Bicaranya 'Keseleo' karena Baru Menjabat

Prosesi Pemilihan Paus Baru Segera Dimulai

Para kardinal Italia selalu menjadi pemain utama dalam konklaf, pertemuan rahasia yang telah berlangsung selama berabad-abad di Kapel Sistina untuk memilih paus baru.

Dalam film pemenang Oscar, Conclave, yang dirilis tahun lalu, mereka berhadapan dengan kandidat tangguh dari Amerika dan Afrika.

Namun, kardinal yang terpilih sebagai paus dalam film itu menentang ekspektasi — ia bukanlah kandidat yang diunggulkan dan berasal dari negara dengan mayoritas Muslim.

Baca Juga: Pekan Krusial Barcelona: Sudah Ada Inter Milan dan Real Madrid yang Menanti

Skenario fiktif ini memunculkan pertanyaan di dunia nyata. Mungkinkah pengganti mendiang Paus Fransiskus dipilih dari negara yang bukan mayoritas penduduknya beragama Katolik?

Konklaf yang Khas

Konklaf yang sebenarnya akan dimulai di Roma pada hari Rabu dan Paus baru akan dipilih oleh para kardinal yang memenuhi syarat dari Dewan Kardinal.

Mengutip laman ABC, ada 252 kardinal, tetapi hanya 135 dari mereka yang merupakan kardinal elektor, yang berarti mereka berusia di bawah 80 tahun sehingga dapat memberikan suara — dan dipilih menjadi paus.

Baca Juga: Gubernur Pramono Anung Dukung Penuh Digiland 2025 Besutan TelkomGroup di Jakarta

Dua kardinal telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak akan menghadiri konklaf karena alasan kesehatan. Dengan demikian, hanya akan ada 133 kardinal yang ambil bagian.

Kali ini Eropa memiliki 52 kardinal elektor, Asia 23, Afrika 17, Amerika Selatan 17 dan Amerika Utara 16. Sementara Oseania dan Amerika Tengah masing-masing memiliki empat kardinal elektor.

Joel Hodge, Profesor Madya Universitas Katolik Australia, mengatakan, konklaf ini istimewa. Karena ada lebih banyak kardinal elektor dari negara-negara di luar Eropa daripada konklaf sebelumnya.

Baca Juga: Kementerian UMKM Gaet 1.200 Usaha Mikro di Trenggalek, Mudah Legalisasi dan Sertifikasi

"Masih ada kehadiran yang kuat dari Eropa, tetapi sekarang kita memiliki negara-negara yang belum pernah memiliki kardinal sebelumnya. Misalnya, Timor-Leste di wilayah Asia Tenggara kita memiliki kardinal untuk pertama kalinya," katanya. "Dia akan berpartisipasi dalam pemilihan paus untuk pertama kalinya. Itu bersejarah."

Underdog dari Underdog?

Kepausan secara historis dipegang oleh para kardinal dari negara-negara dengan mayoritas Katolik.

Kardinal dari wilayah non-Eropa, seperti Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina, dianggap sebagai kandidat underdog dalam konklaf.

Baca Juga: Cara Mudah Bayar Denda Tilang Elektronik 2025, Tanpa Calo

Namun, bagaimana dengan para kardinal dari negara-negara non-Eropa dan non-Katolik? Apakah mereka underdog dari underdog?

Hodge berpendapat, sangat mungkin pemimpin Vatikan selanjutnya berasal dari negara di mana umat Katolik bukan mayoritas. "Itu benar-benar tergantung pada tipe orang, teologi mereka, spiritualitas mereka, dan gaya kepemimpinan mereka," tambahnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, ada kemungkinan seorang Paus dari negara dengan mayoritas non-Katolik dapat terpilih. 

Baca Juga: PT Bukit Belawan Tujuh Gugat Menteri Rosan Roeslani, Perang Tambang Mencuat

Selama konklaf, geopolitik tentu akan menjadi pertimbangan para kardinal. "Orang yang menjadi paus harus mampu mengelola hubungan yang sangat rumit di seluruh dunia."

"Paus Fransiskus memilih kardinal dari negara-negara yang mayoritas penduduknya tidak beragama Katolik, seperti Mongolia dengan jumlah penduduk Katolik yang sangat sedikit," jelas Hodge.

Namun, tegas dia, kemungkinan Paus berikutnya berasal dari negara dengan mayoritas penduduk non-Katolik tidak jelas.

Baca Juga: Presiden Prabowo: Keberhasilan Program MBG Capai 99,99 Persen, Kasus Keracunan 0,005 Persen

"Anda tidak akan pernah tahu dengan konklaf, karena, seperti kata pepatah Italia, 'Anda memasuki konklaf sebagai Paus, dan Anda keluar sebagai kardinal'," tambahnya.

Kutipan itu menyarankan untuk tidak berasumsi tentang hasil konklaf. Ditekankan bahwa pemilihan bukanlah masalah popularitas, tapi proses untuk memilih wakil Kristus di Bumi.

"Terkadang, kandidat favorit terpilih, atau salah satu kandidat terdepan berhasil. Di lain waktu, ada kejutan. Jadi, kita harus menunggu dan melihat," tegas Hodge.

Baca Juga: Modus Razia, Oknum Polisi Diduga Garap Siswi SMA di Kantor Satlantas Polresta Kupang

Menjadi Paus adalah Mimpi yang 'Bodoh'

Setelah mengunjungi Indonesia pada 2024, Paus Fransiskus mencatat bahwa negara-negara yang tidak didominasi umat Katolik tidak serta merta kekurangan kehadiran gereja yang dinamis.

"Di Indonesia, hanya sekitar 10 persen penduduknya yang beragama Kristen, dan hanya 3 persen dari mereka yang beragama Katolik, minoritas," kata mendiang Paus Fransiskus dalam sebuah pertemuan di Kota Vatikan pada 2024.

"Tetapi yang saya temukan adalah gereja yang hidup dan dinamis, yang mampu menopang dirinya sendiri dan menyebarkan kebaikan Tuhan di negara dengan budaya yang sangat beragam. Sementara pada saat yang sama menjadi rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia," katanya.

Baca Juga: PT Bukit Belawan Tujuh Gugat Menteri Rosan Roeslani, Perang Tambang Mencuat

Kardinal Indonesia, Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, adalah seorang kardinal elektor yang akan menghadiri konklaf tersebut.

Tidak hanya dia seorang non-Eropa, seperti Kardinal Tagle dari Filipina, Kardinal Hardjoatmodjo juga berasal dari negara dengan mayoritas non-Katolik.

Nama pria berusia 74 tahun ini nyaris tak pernah disebut-sebut di depan publik menjelang pertemuan itu — mungkin karena ia tak pernah bercita-cita menjadi Paus, meski dikenal sebagai sosok yang lantang dan progresif di Indonesia.

Baca Juga: Modus Razia, Oknum Polisi Diduga Garap Siswi SMA di Kantor Satlantas Polresta Kupang

Ketika Pemerintah Indonesia berencana memberikan izin pertambangan kepada organisasi keagamaan, Kardinal Hardjoatmodjo, yang merupakan Uskup Agung Jakarta, dengan tegas menolak gagasan itu. Ia mengutip hukum gereja yang melarang pencampuran agama dengan bisnis.

"Saya tidak meminta izin pertambangan atau izin membangun tempat ibadah, saya hanya ingin negara menjalankan tugasnya dengan baik," katanya saat itu.

Pada kesempatan lain, Kardinal Hardjoatmodjo mengatakan, "Terpilih menjadi paus bukanlah soal ambisi, juga bukan karier yang terus maju — justru sebaliknya."

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Iqbal Marsya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X