KONTEKS.CO.ID - Banjir bandang yang melanda Tapanuli, Sumatera Utara, ternyata tak lepas dari tangan manusia.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menyoroti tujuh perusahaan yang dianggap berperan besar dalam kerusakan lingkungan hingga memicu longsor dan banjir.
Sejak Selasa, 25 November 2025, delapan kabupaten/kota terdampak bencana, dengan Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah paling parah.
Ribuan rumah hancur, puluhan ribu warga mengungsi, dan aktivitas ekonomi lumpuh di 51 desa yang tersebar di 42 kecamatan.
Baca Juga: Inara Rusli Ramai-Ramai Diboikot Brand Imbas Kasus Perselingkuhan, Ayesha Hijab Batalkan Kontrak
Wilayah Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru menjadi sorotan utama.
Hutan tropis ini berperan sebagai penyimpan air, penyangga banjir, sekaligus bagian penting bentang Bukit Barisan. Sayangnya, aktivitas industri di sekitar kawasan tersebut merusak fungsi alami hutan.
Jejak Industri yang Merusak Alam
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menjelaskan bahwa tujuh perusahaan mulai dari tambang emas, proyek PLTA, geothermal, hingga perkebunan sawit telah mengeksploitasi hutan Batang Toru.
“Setiap banjir membawa gelondongan kayu dan air keruh. Ini bukan bencana alam semata, melainkan konsekuensi dari pembiaran terhadap perusakan hutan,” tegas Rianda.
Aktivitas tersebut tak hanya menghancurkan hutan, tapi juga mengancam habitat satwa dilindungi seperti orangutan Tapanuli, harimau Sumatra, dan tapir.
Sejak 2015–2024, pembukaan lahan untuk tambang, infrastruktur energi, dan perkebunan telah menghilangkan ratusan hektare hutan Batang Toru.
Dampaknya terasa langsung yaitu sedimentasi sungai meningkat, debit air fluktuatif, dan risiko banjir bandang makin tinggi.
Artikel Terkait
Walhi Gugat 29 Korporasi SDA ke Kejagung, Negara Dirugikan Rp200 T: Ini Daftar dan Dugaan Pelanggarannya
WALHI: Pendanaan Transisi Energi Bersih Harus Tempatkan Masyarakat Adat Sebagai Penerima Manfaat
Penembakan Petani Pino Raya, Bengkulu Selatan, Walhi Desak Polisi dan Komnas HAM Tindak Tegas PT ABS