KONTEKS.CO.ID - Sebuah babak baru yang sangat krusial dalam kewenangan aparat penegak hukum di Indonesia telah resmi disepakati.
Komisi III DPR RI dan pemerintah telah mengetok palu pengesahan salah satu pasal paling kontroversial dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yakni Pasal 112A.
Aturan ini memberikan kekuasaan baru yang sangat besar kepada penyidik untuk melakukan penyitaan aset tanpa mengantongi izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri (PN).
Bagi masyarakat, khususnya mereka yang berhadapan dengan hukum, aturan ini mengubah lanskap perlindungan hak milik secara fundamental.
Baca Juga: Polda Metro Jaya Dapat Langsung Menahan Roy Suryo Cs? Ini Pendapat Ahli Hukum Pidana
Jika sebelumnya penyidik wajib membawa surat izin pengadilan sebelum menyita, kini mereka dapat beroperasi dengan skema "sita dulu, izin belakangan".
Hal tersebut adalah sebuah langkah yang diyakini akan mempercepat proses penyidikan, namun di sisi lain membuka celah besar bagi potensi penyalahgunaan wewenang.
Persetujuan ini disahkan langsung oleh Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 13 November 2025.
Pasal 112A Ayat (1) secara gamblang menyebut bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan atas benda bergerak tanpa izin Ketua PN. Sebagai gantinya, mereka baru wajib meminta persetujuan setelah penyitaan dilakukan, dengan batas waktu 5 hari kerja.
Risiko terbesar bagi publik justru terletak pada definisi keadaan mendesak. RKUHAP memang merinci beberapa kondisi objektif, seperti tertangkap tangan, adanya upaya nyata merusak barang bukti, atau aset yang mudah dipindahkan.
Namun, DPR dan pemerintah juga menyepakati satu klausul karet yang sangat subjektif, yakni pada Ayat (2) huruf F, yang menyebut bahwa keadaan mendesak bisa didasarkan murni atas situasi berdasarkan penilaian penyidik.
Klausul penilaian penyidik inilah yang dikhawatirkan para aktivis hak sipil. Ini memberikan kekuasaan yang nyaris absolut kepada penyidik di lapangan untuk secara sepihak menentukan urgensi penyitaan aset warga seperti ponsel, laptop, atau kendaraan tanpa ada pengawasan yudisial di muka.
Meski demikian, RKUHAP mencoba membangun jaring pengaman di bagian akhir. Setelah penyidik melapor (maksimal 5 hari), Ketua Pengadilan Negeri memiliki waktu yang sangat singkat, hanya 2 hari kerja, untuk mengeluarkan penetapan menyetujui atau menolak penyitaan tersebut.
Artikel Terkait
Jadi Biang Kerok Pengelolaan Royalti Musik, Anggota Baleg DPR Sarankan LMK dan LMKN Dibubarkan
Cegah Paksaan Pengakuan, DPR Sahkan Aturan Wajib CCTV di Ruang Interogasi
Bos BGN Minta Tambahan Anggaran Rp28,53 Triliun ke Purbaya untuk MBG, Eh Malah Kena Tegur DPR
Berkaca Tragedi Keracunan 130 Siswa, DPR Desak Pasang GPS di Mobil MBG
DPR Ungkap SPPG Polri Diduga Depak Dapur Masyarakat di Grobogan dan Brebes