Sementara Malaysia kita ketahui adalah negara pantai biasa (coastal state) yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus untuk menentukan batas wilayahnya. Masalahnya kemudian ternyata Malaysia kurang tepat menghitung base point. Malaysia kerap melakukan pengukuran dari dari jarak batu karang ketika air laut surut.
"Jadi prinsipnya masing-masing negara pasti akan berpegang teguh pada klaimnya. Kalau malaysia dengan peta tahun 1979 menski sudah meratifikasi UNCLOS tahun 1982 akan tetapi Malaysia tentu tidak mau menyesuaikan peta UNCLOS. Sementara kita Indonesia, mendasarkan pada UNCLOS. Itulah kenapa terjadi tumpang tindih," ungkap pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, saat bebincang dengan Konteks.co.id, Rabu 6 Agustus 2025.
Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar, persisnya dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia.
Blok Ambalat telah menjadi objek sengketa berkepanjangan antar Indonesia dengan negeri jiran terebut. Akar masalahnya bukan hanya karena soal kepemilikan wilayah suatu negara, namun juga masalah lebih serius lantaran di Blok Ambalat mengandung minyak dan gas yang jika dikelola maksimal dapat bertahan hingga 30 tahun ke depan.
Potensi "harta karun" laut tersebut tentu takkan pernah diikhlaskan Malaysia jika menjadi milik Indonesia. Terlebih berdasarkan peta yang mereka buat tahun 1979, Blok Ambalat diklaim masuk wilayah Malaysia. Dasar itulah yang dipakai Malaysia untuk merebut kembali Blok Ambalat dari Indonesia.
Sementara pemerintah kedua negara telah mencapai kesepakatan untuk mengelola Blok Ambalat secara bersama-sama (joint development) yang disepakati dalam pertemuan bilateral di Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat 27 Juni 2025 lalu.
Langkah itu diambil demi menghindari konflik berkepanjangan dan menjaga hubungan baik antar negara serumpun.
Namun, opsi itu dinilai merugikan Indonesia karena pemanfaatan kekayaan minyak dan gas di Blok Ambalat tidak bisa dikuasai secara penuh.
"Pendekatan yang dilakukan Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dengan joint development itu artinya agar sumber daya alam dimanfaatkan secara bersama-sama, sementara kita harus menyelesaikan batas secara hukum. Kalau joint development ya rugi. Harusnya Indonesia mendapatkan keseluruhan tapi ini tidak," terang Guru Besar Ilmu Hukum Internasional UI ini.
Meski demikian, joint development dinilai sebagai metode penyelesaian konflik terbaik ketimbang harus mengedepankan penyelesaian secara militer alias perang antar kedua negara.
"Kesepakatan joint development untuk bisa memanfaatkan sumber daya alam secara bersama-sama ini saya rasa lebih baik ketimbang bersengketa. Saya setuju langkah Perdana Menteri Anwar Ibrahim karena sesama negara ASEAN dan negara bertetangga serumpun sebaiknya menyelesaikan masalah ini secara damai," tutup Hikmahanto.
Artikel Terkait
Menhan Ingin Bangun Pabrik Obat Lokal, Pengamat: Kurang Tepat dan Perlu Kajian Serius
Menhan dan Panglima TNI Minta Tambah Anggaran Rp184 T: Jaga Negara Itu Mahal
Blok Ambalat Memanas, Anwar Ibrahim: Saya Pertahankan Hak Setiap Jengkal Sabah
Kesepakatan Pengelolaan Bersama Blok Ambalat Didihkan Suhu Politik di Malaysia: Sabah Tolak Mentah-Mentah!
Kemlu Malaysia Haramkan Warganya Sebut Ambalat, Melainkan Laut Sulawesi