KONTEKS.CO.ID - Kolak setiap bulan Ramadan tiba, menjadi salah satu hidangan yang tak pernah absen saat berbuka puasa. Perpaduan manisnya gula aren, gurihnya santan, serta aneka bahan seperti pisang, ubi, dan kolang-kaling menjadikan kolak favorit banyak orang.
Namun, lebih dari sekadar makanan, kolak menyimpan sejarah panjang dan filosofi yang mendalam.
Jejak Sejarah Kolak di Nusantara
Kolak bukanlah makanan baru. Jejak awal makanan ini atau yang sejenis telah ada sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha.
Baca Juga: KPK Limpahkan Berkas Perkara Hasto Kristiyanto, Pihak Sekjen PDIP Khawatir Gugurkan Praperadilan
Prasasti Watukura yang berasal dari tahun 902 M mencatat adanya makanan berbahan dasar cairan gula aren yang dikombinasikan dengan berbagai bahan lain, menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Kuno telah mengenal hidangan serupa kolak sejak lama.
Sementara itu, ada teori yang menyebutkan bahwa kata "kolak" berasal dari bahasa Arab kul laka, yang berarti "makanlah."
Teori lain menyebutkan bahwa kolak berakar dari kata Arab khalaqa, yang berarti "menciptakan." Hal ini menunjukkan adanya pengaruh budaya Timur Tengah dalam kuliner Nusantara, terutama pada makanan yang identik dengan bulan Ramadan ini.
Baca Juga: Jafar-Felisha Kandas di 16 Besar Orleans Masters 2025 Usai Berjuang 3 Gim
Akulturasi Budaya dan Makna Filosofis Kolak
Kolak adalah salah satu contoh nyata akulturasi budaya antara Nusantara dan Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah dikenal menyukai makanan manis, dan ketika pengaruh budaya Islam masuk ke Nusantara, mereka mengadaptasi selera ini dengan bahan-bahan lokal seperti santan, ubi, pisang kepok, dan kolang-kaling.
Tak hanya lezat, kolak juga memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Penggunaan pisang kepok, misalnya, dipercaya memiliki makna religius karena kata "kepok" dalam bahasa Jawa terdengar seperti "kapok" yang berarti jera atau tidak akan mengulangi kesalahan.
Ini bisa dimaknai sebagai pengingat untuk selalu memperbaiki diri setelah menjalani ibadah puasa.
Selain itu, penggunaan santan dalam kolak juga menyimpan filosofi mendalam. Sejarawan Fadly Rahman menjelaskan bahwa pohon kelapa, sumber utama santan, dianggap sebagai "the tree of life" atau pohon kehidupan.
Baca Juga: Hashim Djojohadikusumo Temui Jokowi, Gelar Pertemuan Tertutup di Solo
Seluruh bagian pohon kelapa bisa dimanfaatkan, mencerminkan konsep syukur atas karunia Tuhan. Oleh karena itu, memasukkan santan dalam kolak bisa diartikan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan.
Artikel Terkait
Kolak, Kudapan Manis Khas Ramadhan dengan Filosofi yang Mendalam
Resep Es Pisang Ijo Lezat Menyehatkan untuk Takjil Berbuka Puasa
3 Resep Es Buah Segar dan Praktis untuk Buka Puasa, Variasi Takjil yang Menyegarkan!
Berburu Takjil, Tradisi di Bulan Ramadan yang Menyatukan Umat Muslim dan Nonmuslim