Seulawah adalah pesawat sipil tipe DC-3 produksi Douglas Aircraft Company, Amerika Serikat.
Tubuhnya sepanjang 19,66 meter dengan rentang sayap 28,96 meter, ditopang dua mesin Pratt and Whitney berbobot total 8.030 kilogram (kg).
Ia mampu terbang 2.430 kilometer nonstop dengan kecepatan maksimum 346 km/jam, kekuatan yang sangat berarti bagi republik yang saat itu belum memiliki infrastruktur transportasi memadai.
Wakil Presiden (Wapres) Mohammad Hatta menjadi pejabat pertama yang menggunakan RI-001 Seulawah dalam kunjungan kerja ke Sumatera melalui rute Yogyakarta–Jambi–Payakumbuh Utara dan kembali lagi ke Yogyakarta.
Saat ini, ada tiga replika pesawat Seulawah RI-001 yang dibuat. Majalah TEMPO edisi khusus 24 Agustus 2003 menulis, salah satunya replika dipajang di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Replika lainnya ditempatkan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Monumen Seulawah RI-001 ini diresmikan Panglima TNI Jenderal LB Moerdani pada 30 Juli 1984.
Menariknya, replika ketiga berada di Museum Rangoon, Myanmar. Pemerintah Myanmar merasa berutang budi kepada Seulawah karena telah ikut menjadi pesawat angkut di negara tersebut pada 1949. Lho, kok bisa?
Pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan pelopor pesawat komersial Indonesia, Indonesian Airways. (Foto: Dok. Kompas)
Awalnya Overhoul, Berkembang Jadi Garuda
Ceritanya, pada 1 Desember 1948 Seulawah RI-001 terbang ke Kalkutta, India, untuk menjalani perawatan (overhoul). Pesawat ini sempat singgah di Lapangan Udara Piobang Payakumbuh dan Kutaraja dan tiba di Kalcutta 7 Desember 1948.
Perbaikan yang dilakukan meliputi perawatan besar (major overhoul), pengecatan, dan pemasangan tangki jarak jauh agar pesawat bisa terbang jauh tanpa pengisian bahan bakar mengingat blokade udara Belanda yang sangat ketat di masa itu.
Rencananya Seulawah RI-001 tiba kembali di Indonesia pada 15 Desember 1948, sebab setelah itu Presiden Soekarno akan menggunakan pesawat itu untuk sebuah perjalanan ke India.
Namun hingga 15 Desember 1948, perbaikan belum juga selesai. Tiga hari kemudian, tepatnya pada 18 Desember 1948 meletus Agresi Militer II Belanda sehingga diputuskan Seulawah tetap berada di Kalkuta. Perbaikan pesawat itu sendiri selesai pada 20 Januari 1949.