KONTEKS.CO.ID - Di balik peringatan Hari Penerbangan Sipil Internasional setiap 7 Desember, Indonesia memiliki kisah tentang sebuah pesawat yang bukan hanya mengangkasa, tetapi lahir dari pengorbanan rakyat.
Pesawat itu adalah Dakota RI-001 Seulawah, 'burung besi' pertama Republik yang terbang berkat sumbangan emas, tanah, dan jerih payah masyarakat Aceh yang kini didera bencana banjir bandang dan longsor.
Pesawat ini kelak menjadi tonggak berdirinya Indonesian Airways, cikal bakal Garuda Indonesia itu bukan lahir dari anggaran negara atau bantuan luar negeri.
Seulawah, yang berarti Gunung Emas, bukan sekadar nama. Ia adalah simbol persatuan rakyat Serambi Mekkah yang pada 1948 mengumpulkan dana demi membantu republik muda memiliki pesawat angkut pertamanya.
Upaya ini dimulai ketika TNI Angkatan Udara (AU) berencana membeli pesawat, namun negara masih terpukul secara ekonomi akibat blokade Belanda setelah Agresi Militer I.
Di tengah keterbatasan itu, Soekarno memutuskan mengunjungi Aceh, satu-satunya wilayah yang belum dapat dikendalikan rezim kolonial Belanda.
Dalam sebuah pidato bersejarah di Hotel Aceh, Kutaraja, pada 16 Juni 1948, Presiden RI pertama itu meminta bantuan secara terbuka kepada rakyat Aceh.
"Sebab itu saya anjurkan, sebelum kita memperkuat dan memperbaiki jalanan mobil dan kereta api ataupun perhubungan di laut, kita usahakan membuat lalu lintas udara," kata Soekarno.
Ia pun melanjutkan dengan permohonan khusus kepada para saudagar Aceh, "Di sini saya anjurkan, supaya kaum saudagar akan membeli kapal udara, sebaiknya Dakota," tambah Sang Putra Fajar.
Baca Juga: Gatot Soebroto, Sang Penyelamat Karier Militer 'Monyet' Soeharto Akibat Kasus Beras
Permintaan itu tidak disia-siakan oleh rakyat Aceh. Di bawah kepanitiaan Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, masyarakat mengumpulkan sumbangan yang kemudian mencapai 20 kilogram emas. Sebuah nilai fantastis untuk masa itu dan setara 130 ribu Dollar Malaya ketika Soekarno mengakhiri kunjungannya pada 20 Juni 1948.
Nama Seulawah kemudian dipilih yang berarti 'Gunung Emas', sangat sepadan dengan cara pesawat itu dibiayai.