Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Riwu menangis sedih. Ia tidak bisa membaca, di masa itu pun belum ada TV. Ia mendengar wafatnya Soekarno karena menjadi bahan pembicaraan para pegawai. Tapi tetap saja, ia tak pernah memberi tahu bahwa ia adalah orang yang selalu di sisi Soekarno di masa perjuangan. Ia menangis dalam diam.
Cita-cita Riwu yang tak pernah kesampaian adalah mengunjungi makam Bung Karno di Blitar. Kondisi ekonomi dan rapinya Riwu menyimpan sejarah bersama Bung Karno menyebabkan ia tak pernah menziarahi makam bos sekaligus saudara yang ia kagumi itu. Bahkan istri kedua Riwu tak pernah tahu kedekatan suaminya dengan Soekarno.
17 Agustus 1996, tepat 51 tahun setelah ia berkeliling Jakarta memberitakan kemerdekaan Indonesia, Riwu Ga menutup mata dalam sunyi di usia 78 tahun.
Tak ada yang menyadari, apalagi mengapresiasi kontribusi penting Riwu untuk Indonesia. Bahkan di tahun-tahun sebelum kematiannya, di upacara peringatan 17 Agustus tingkat kecamatan pun ia tidak pernah diundang.
Ia adalah antitesis dari "relawan" di era sekarang yang selalu ingin menonjol dan bahkan punya pamrih jabatan, minimal jadi komisaris kendati tanpa tantiem.
Riwu Ga, sebagaimana orang kecil lainnya, kehadirannya kerap tidak dirasakan. Tetapi ketidakhadiran Riwu Ga di 14 tahun mendampingi Soekarno mungkin saja mengubah jalannya sejarah.***