kontekstory

Sejarah Macao Po, Pelopor Lokalisasi di Jakarta: Perempuan Sipit Didatangkan dari Makau China, Pelanggannya Pejabat Belanda dan Taipan

Minggu, 11 Mei 2025 | 09:00 WIB
Wanita asal Makau, China, menjadi pekerja seks komersial pertama di Jakarta. Mereka menjadi penghuni kompleks lokalisasi Macao Po di dekat Stasiun Beos. (Dok GaHetNa/Nationaal Archief NL)

Penyakit ini kemudian kita kenal di era modern dengan sebutan raja singa atau sipilis. Pada era itu, penderita sipilis sulit sembuh lantaran saat tersebut memang belum ada antibiotik.

Kompleks Pelacuran Soehian

Dalam perkembangan selanjutnya, tempat prostitusi Gang Mangga tersaingi rumah-rumah bordil yang didirikan oleh orang China dengan sebutan Soehian.

Baca Juga: Kisah Brutal Neo Nazi Era Kini: 10 Pembunuhan, 15 Perampokan Bank, dan Tiga Serangan Bom

Mengutip riset "Prostitution in Indonesia", Working Paper in Demography (Research School of Social Sciences No 52) (Canberra: The Australian National University, 1995; Gavin W Jones, Endang S, dan Terence H Hull, kompleks pelacuran sejenis Soehian cepat menyebar ke seluruh Jakarta.

Namun karena sering menjadi tempat perkelahian atau keributan, maka pada awal abad ke-20 tempat-tempat yang ada di sekitar Gang Mangga ditutup oleh pemerintah kolonial Belanda. Penutupan rumah bordil Soehian terpicu oleh terbunuhnya PSK top saat itu, Fientje de Feniks, pada 1912.

Setelah rumah-rumah bordil Soehian ditutup, maka bermunculanlah kompleks pelacuran serupa. Kompleks pelacuran yang sudah eksis sejak abad ke-19 terus berlanjut hingga Indonesia merdeka.

Baca Juga: Sejarah Gelar Haji: Cuma Ada di Indonesia, Awalnya Taktik Kolonial Belanda Redam Perlawanan

Sebut saja Gang Hauber di Petojo yang terdiri dari Gang Hauber I, II, dan III yang oleh Wali Kota Sudiro pada pertengahan 1950-an diganti Gang Sadar.

Penggantian nama itu dimaksudkan agar pria-pria yang sering jajan dan para PSK kembali sadar ke jalan yang benar. Namun, si pelacur dan laki-laki hidung belang tidak sadar-sadar karena sampai awal 1980-an masih beroperasi.

Sementara di Sawah Besar, Jakarta Pusat, terdapat kompleks pelacuran Kaligot. Nama ini mengambil nama sandiwara Prancis, Aligot, yang pada 1930-an manggung di Batavia.

Baca Juga: Xanana Gusmao 'Che Guevara' dari Timor Leste; Pejuang Humanis Tanpa Dendam, Bestie Habibie, Musuh Soeharto

Atau tempat pelacuran Malvinas di Bekasi yang menjulang saat terjadi perang antara Inggris dan Argentina memperebutkan kepulauan Malvinas (Folkland) di paruh pertama 1980-an.

Kramat Tunggak: Dibangun Ali Sadikin, Dimusnahkan Sutiyoso

Tahun 1950 hingga 1960-an bisa dibilang banyak melahirkan tempat prostitusi di Jakarta. Seperti di Jalan Halimun antara Kalimalang dekat markas Guntur hingga Bendungan Banjir Kanal.

Sementara tempat pelacuran lainnya tersebar di Kebon Sereh di belakang Stasiun Jatinegara, kawasan Bongkaran Tanah Abang, dan Kalijodo.

Baca Juga: Rukmini, Tunangan Pierre Tendean yang Butuh Waktu Move On 7 Tahun

Pada 1970, Gubernur DKI Ali Sadikin membuat gebrakan dengan meresmikan Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak. Keputusan ini tertuang melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 per tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila.

Lokasinya terletak di pinggiran utara kota Jakarta, dekat dengan kesibukan pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok. 'Komplek' itu berbaur dengan hunian warga setempat.

Tujuan Awal Ali Sadikin mulia, yaitu untuk menyadarkan dan membina pekerja seks di Jakarta yang kebanyakan berasal dari Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan agar tidak semua wilayah Jakarta 'rusak'.

Baca Juga: Mikhail Kalashnikov, Pencipta Senapan Serbu 'Sejuta umat' AK-47 yang Merasa Berdosa di Akhir Hidupnya

Namun, sejumlah muncikari memanfaatkan kondisi berkumpulnya para pekerja seks di sana untuk membujuk mereka kembali bekerja sebagai wanita penghibur. Tak pelak, pekerja seks yang tadinya tersebar di banyak tempat di Jakarta, mulai terkonsentrasi ke sana.

Maka bertahun kemudian, Kramat Tunggak berkembang dan menjelma menjadi salah satu lokalisasi terbesar di Asia Tenggara selain Dolly di Surabaya.

Pada era 1990-an, jumlah pekerja seks di Kramat Tunggak sudah lebih dari 2.000 orang, 258 muncikari dan 700 orang pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 orang tukang ojek.

Halaman:

Tags

Terkini