nasional

MK Larang Anggota Polri Duduki Jabatan Sipil

Kamis, 13 November 2025 | 14:53 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: Ombudsman Pemprov Jogja)

“Dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Ridwan.

Namun demikian, putusan MK ini tidak bulat  karena terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Selain itu, dua orang Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah juga menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Baca Juga: Fatal! Gugatan Batas Usia Pemuda Kandas di MK Cuma Gara-gara Salah Administrasi

Permohonan perkara 114/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh mahasiswa doktoral sekaligus advokat Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana ilmu hukum yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak.

Para Pemohon mengujikan Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri Nomor 2 Tahun 2002.

Pasal 28 Ayat (3) UU Polri menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."

Baca Juga: MK Minta Pemohon Perkuat Permohonan Uji Materi Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR

Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri."

Dalam persidangan di MK pada Selasa, 29 Juli 2025, Syamsul mengatakan, terdapat anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri.

Sejumlah anggota Polri aktif di antaranya menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT.

Baca Juga: Sidang Pendahuluan MK, Pemohon Utarakan Kerugian Konstitusional Terkait Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR

Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

Menurut Pemohon, praktik tersebut sejatinya bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi, dan meritokrasi dalam pelayanan publik.

Selain itu, merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

Halaman:

Tags

Terkini