Baca Juga: Aceh Dilanda Tsunami Jilid Dua, Gubernur Mualem: Bupati Cengeng Tangani Banjir Silakan Mundur
KONTEKS.CO.ID – Greenpeace Indonesia ikut menyoroti bencana banjir bandang dan tanah longsor Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) yang terjadi di pekan terakhir November 2025.
Selain mendesak menaikan statusnya menjadi bencana nasional, aktivis lingkungan itu berharap Presiden Prabowo Subianto mengambil pelajaran dari bencana tersebut.
Mengingat skala dampak yang sangat besar, Greenpeace bersama pihak lain mendesak pemerintah membuat banjir ini sebagai bencana nasional. Sekaligus memberikan bantuan bencana yang cepat dan tepat.
Baca Juga: Sumatera Diguncang Bencana Besar, Menkeu Purbaya Tetap Yakin Pertumbuhan Ekonomi RI Tetap Gacor
“Banjir besar yang melanda Sumatera seharusnya menjadi peringatan terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk merombak total tata kelola kehutanan, kebijakan lingkungan, dan iklimnya,” ungkap Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengutip laman resminya Jumat 5 Desember 2025..
Dampak krisis iklim terpatau jelas dari cuaca yang semakin ekstrem, termasuk hujan lebat yang diperparah oleh kemunculan Siklon Tropis Senyar pada 25-27 November 2025 di Selat Malaka.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kehadiran Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka, berdampak pada daratan Sumatera di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat,.
Arie Rompas menambahkan, merupakan fenomena yang sangat langka mengingat posisi wilayah tersebut dalam radius sekitar lima derajat dari garis khatulistiwa.
Baca Juga: Aceh Dilanda Tsunami Jilid Dua, Gubernur Mualem: Bupati Cengeng Tangani Banjir Silakan Mundur
“Hujan ekstrem akan terus menghantui kita sebagai akibat langsung dari krisis iklim. Sebagai negara kepulauan yang rawan bencana, dampak krisis iklim bukan sekadar angka; melainkan mengancam kehidupan,” tuturnya.
Ia menambahkan, Indonesia membutuhkan target dan aksi iklim yang ambisius. Pemerintah tidak bisa lagi bergantung pada upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya ada di atas kertas.
“Tidak boleh ada lagi solusi palsu (seperti biofuel) dalam kebijakan iklim nasional, kebijakan harus bergeser dari menguntungkan segelintir orang menjadi menjamin kelayakan hidup bagi semua,” timpal Iqbal Damanik, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Faktor kedua yang memicu dampak masif banjir Sumatera adalah kerusakan hutan. Termasuk di daerah aliran sungai (DAS) di hulu.
Baca Juga: Thailand Minta Maaf Usai Lagu Kebangsaan Vietnam dan Laos Tak Tersedia di Sepak Bola SEA Games 2025
Artikel Terkait
Kajian Greenpeace dan Global Forest Watch Dukung Peringatan Keras Institut USBA: Bencana Sumatera Bisa Terjadi di Papua dan Lebih Parah!
Harimau Sumatra Mulai Pulih di Hutan Terpencil Leuser
Menhut Enggan Buka 12 Perusahaan Diduga Perusak Hutan Picu Banjir dan Longsor Dahsyat di Sumatera
Banjir Bandang dan Longsor Sumatra, Guru Besar IPB: Hutan yang Sehat Mampu Menahan Air
Jaga Layanan Tetap Terjaga di Daerah Terisolir Bencana Banjir, BRI Andalkan Satelit BRIsat