Pasal 64 ayat (2) UU tersebut jelas menyebutkan pembagian kuota tambahan harus mengikuti formula: 92 persen untuk haji reguler dan hanya 8 persen untuk haji khusus.
Dengan skema baru itu, ribuan calon jamaah reguler kehilangan hak tambahan yang seharusnya bisa mempercepat antrean panjang haji yang bisa mencapai belasan hingga puluhan tahun.
Dugaan Lobi dan Suap
Dalam penyidikan, KPK menemukan indikasi adanya lobi-lobi dari asosiasi penyelenggara haji kepada pejabat Kemenag untuk mengubah komposisi pembagian kuota.
Lebih jauh, penyidik menduga terjadi transaksi uang antara pihak travel haji dan pejabat Kemenag sebagai kompensasi atas kuota tambahan yang dialokasikan ke haji khusus.
Situasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa kebijakan tersebut bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan didorong oleh kepentingan bisnis yang mengorbankan calon jamaah reguler.
Baca Juga: KPK Telisik Pertemuan Eks Bendum Amphuri dengan Yaqut
Publik Menunggu Penetapan Tersangka
Hingga kini, KPK belum mengumumkan nama-nama yang ditetapkan sebagai tersangka. Asep memastikan penetapan status hukum baru akan diumumkan setelah audit BPK selesai.
“Kami sedang bekerja sama dengan auditor BPK untuk menghitung itu. Jumlahnya yaitu kan waktu itu taksiran kasar saja,” beber Asep.
Dengan estimasi kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah dan dampak langsung pada kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan ibadah haji, kasus ini dipandang sebagai ujian serius bagi konsistensi KPK dalam memberantas korupsi di sektor pelayanan publik yang sangat sensitif.***
Artikel Terkait
KPK Ungkap Alasan Tak Periksa Biro Perjalanan Kasus Korupsi Kuota Haji di Jakarta
Kasus Korupsi Kuota Haji, KPK Buka Opsi Usut Pencucian Uang
KPK Bongkar Skema Bertingkat Korupsi Kuota Haji, Oknum Biro Hingga Pimpinan Kemenag Diduga Terlibat
Masih Perhitungan Kasar, KPK Ungkap Besaran Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Kuota Haji