• Senin, 22 Desember 2025

Kenapa Pemerintah Pilih Influencer dan Bukan Media, Ini Penjelasan Para Pakar

Photo Author
- Selasa, 2 September 2025 | 15:28 WIB
Banyak pelajar yang mengaku tertarik ikut aksi setelah melihat berbagai unggahan di TikTok.
Banyak pelajar yang mengaku tertarik ikut aksi setelah melihat berbagai unggahan di TikTok.

Senada, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, menekankan bahwa pejabat publik semestinya menjadi komunikator utama.

“Semestinya para pejabat publik dan pemimpin institusi politiklah yang menjadi influencer dalam mengkomunikasikan kebijakan publik. Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi,” kata Nyarwi.

Ketua Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Jawa Tengah, Samsul Arifin, mengingatkan Presiden agar mengutamakan komunikasi lewat media massa.

“Media itu rumah besar rakyat. Kalau Presiden ingin menenangkan masyarakat, jangan terlalu mengandalkan influencer, tapi perbanyaklah komunikasi lewat media massa,” kata Samsul, Senin, 1 September 2025.

Baca Juga: Kapolri Listyo Sigit Makan Malam Bareng 320 TNI-Polri di DPR RI, Kehadiran Dasco dan Raffi Ahmad Tuai Sorotan

Ia menambahkan, komunikasi melalui jurnalis lebih aman karena melalui verifikasi, berbeda dengan influencer yang lebih fokus pada konten viral. Pandangan ini sejalan dengan analis politik Hendri Satrio (Hensa) yang menilai media massa lebih mampu membuat masyarakat tenang.

“Media massa lah yang bisa menenangkan rakyat, bukan influencer,” ujar Hensa.

Data Survei: Publik Lebih Percaya Media

Kritik para pakar didukung data survei Indonesian Presidential Studies (IPS) UGM tahun 2022. Sebanyak 74,4 persen publik mengaku masih percaya pada media formal seperti televisi, radio, dan surat kabar.

Sementara kepercayaan pada media sosial hanya 12,7 persen. Angka ini menunjukkan jurang besar antara kredibilitas media dan influencer.

Baca Juga: Mendagri Sebut Jumlah Kerugian Demonstrasi yang Rusak Fasum di Jakarta, Gedung DPRD di Makassar hingga Jambi

Catatan Buruk Influencer di Politik

Indonesia sendiri memiliki pengalaman kurang baik saat pemerintah melibatkan influencer dalam agenda politik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyoroti sejumlah kasus blunder, mulai dari konser BPIP di masa pandemi hingga kampanye Omnibus Law dengan tagar “Indonesia Butuh Kerja”.

Kala itu, beberapa influencer bahkan meminta maaf karena mengaku tidak memahami substansi kebijakan yang mereka promosikan.

Riset Pew Research Center tahun 2024 di Amerika Serikat juga memperlihatkan hanya 20 persen warga yang rutin mendapat berita dari influencer, sementara mayoritas lebih percaya media konvensional.

Baca Juga: Rektor Unisba Sebut Kericuhan di Tamansari Libatkan Gerombolan Tak Dikenal, Bukan dari Mahasiswa

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Eko Priliawito

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X