KONTEKS.CO.ID – Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai OTT Emmanuel Ebenezer alias Noel menjadi alarm bahaya bagi Presiden Prabowo dalam agenda pemberantasan korupsi dan implementasi program-program strategis pemerintah.
Wijayanto di Jakarta, Minggu, 24 Agustus 2025, mengatakan, OTT terhadap Noel ini momentum di tengah komitmen Prabowo yang selalu menegaskan genderang perang terhadap korupsi di berbagai kesempatan.
“Dalam pidatonya, Presiden kembali menegaskan komitmen memberantas korupsi, bahkan mengancam seluruh jajarannya agar menjauhi perilaku koruptif. Ia sendiri berjanji akan memimpin upaya mengejar koruptor hingga ke Antartika,” ujar Wijayanto.
Namun, kata dia, kasus Noel justru menunjukkan betapa sulitnya memberantas korupsi. Noel yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat, malah justru memeras mereka dengan menaikkan tarif sertifikat K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dari Rp275.000 menjadi Rp6 juta per sertifikat.
Alih-alih memperbaiki birokrasi, Noel justru meneruskan praktik lama bahkan meminta bagian dari aliran dana korupsi.
“Lebih ironis lagi, praktik tersebut melibatkan ASN hingga pejabat eselon II, dan dilakukan sejak bulan pertama ia menjabat,” ujar Wijayanto.
Menurutnya, banyak pihak meyakini posisi Wakil Menteri hanya dijadikan batu loncatan untuk melakukan korupsi.
Situasi ini, lanjutnya, tidak berdiri sendiri. Pada saat bersamaan, Kementerian Agama juga tengah diperiksa KPK terkait kuota haji, sementara Kementerian Komunikasi dan Digital ditelisik terkait kasus perlindungan judi online (judol).
“Korupsi telah mengakar, hingga muncul kesan bahwa pemerintah kita telah menjelma menjadi ‘Pemerintahan Wani Piro’: values (nilai-nilai) dibuang, digantikan value (nilai uang). Segalanya serba pragmatis dan transaksional,” katanya.
Wijayanto menilai kondisi ini sangat berisiko bagi Presiden Prabowo, mengingat gaya kepemimpinannya yang identik dengan program masif, berbiaya tinggi, dan berdampak luas dalam waktu singkat.
Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun per tahun, Program Kopdes Merah Putih, hingga target pembangunan 3 Juta Rumah.
“Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika masyarakat gagal membayar cicilan KPR bersubsidi? Yakinkah perbankan kita siap menghadapi tsunami kredit macet?” ujarnya.
Menurutnya, risiko tersebut tidak serta merta muncul tahun ini, melainkan mungkin baru terasa pada 2027 atau 2028—saat kondisi ekonomi bisa jadi belum lebih baik dan Indonesia memasuki tahun politik.
“Pertanyaannya, apakah Pemerintah dan Presiden sudah mengantisipasi?” tegasnya.
Wijayanto mengingatkan bahwa pemerintah perlu menyesuaikan program dengan kapasitas fiskal dan kemampuan birokrasi agar tidak overstretched.
“Ada ribuan, bahkan puluhan ribu, ‘Noel’ di Indonesia. Keberadaan mereka memiliki daya rusak tinggi. Program yang baik dan mahal bisa menjadi buruk dan murahan,” jelasnya.
Ia pun menutup dengan peringatan keras: “Tidak perlu mengejar koruptor sampai ke Antartika, karena kebanyakan justru ada di ‘antar kita’. Presiden Prabowo perlu melakukan bersih-bersih sejak dini. Tertangkapnya Noel harus dimaknai sebagai alarm bahaya yang wajib segera direspons, jika tidak ingin bangsa kita celaka.”***
Artikel Terkait
Edan! Noel Cs Peras Buruh untuk Sertifikasi K3, Tarif Resmi Rp275 Ribu Diminta Rp6 Juta
Prabowo Pastikan Tidak Akan Kabulkan Rengekan Amnesti Noel
Noel Memohon Amnesti, Istana Pastikan Presiden Prabowo Tak Lindungi Koruptor
Noel Ebenezer Pelihara Laku Lancung Pengurusan Seritifikat K3 di Kemenaker
Noel Ebenezer Terapkan Siasat Ini Agar Moge Ducatinya Tak Terendus APH