Disebutnya, dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
Fadli menilai, pernyataan itu bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
Baca Juga: KPK: Pengadilan Singapura Tolak Penangguhan Penahanan Buronan Korupsi e-KTP Paulus Tannos
"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," tuturnya.
Istilah 'massal', lanjutnya, telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade.
Dengan demikian, sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.
"Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait 'perkosaan massal' perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif," jelasnya.
Sementara, terkait kekhawatiran penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menegaskan tidak benar.
Sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.***
Artikel Terkait
Fadli Zon Hujan Kritik Seusai Ragukan Fakta Pemerkosaan Massal 1998
Koalisi Perempuan Sebut Omongan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998 Menyakitkan
SETARA Institute Desak Fadli Zon Minta Maaf soal Pernyataan Pemerkosaan Massal Mei 1998
DPR Panggil Fadli Zon untuk Klarifikasi Ucapan Tragedi Mei 98 Hanya Rumor
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Fadli Zon Minta Maaf Soal Ucapan Tragedi Mei 98: Cederai Korban dan Langgengkan Impunitas