Curah hujan tinggi dan kondisi atmosfer disebut menjadi faktor besar yang mempercepat deposisi mikroplastik ke permukaan tanah.
Meski belum dapat memberi penilaian ilmiah terkait laporan terbaru dari Surabaya karena data belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, Reza mengapresiasi temuan komunitas Jejak dan Ecoton.
Baca Juga: Kesepakatan dengan Indonesia Jadi Proyek Pertahana Terbesar dalam Sejarah EDGE Uni Emirat Arab
Menurutnya, laporan tersebut adalah sinyal penting yang harus segera ditindaklanjuti.
Ia mengungkapkan bahwa BRIN telah mengambil sampel dari 18 kota besar dan wilayah pesisir yang mewakili enam ekoregion Indonesia.
Hasil awal menunjukkan bahwa seluruh sampel udara dan hujan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku–Papua, hingga Nusa Tenggara mengandung mikroplastik.
Baca Juga: Toyota Luncurkan Urban Cruiser Harga Rp759 Juta, Mulai Rakit bZ4X di Indonesia
Temuan ini mengonfirmasi bahwa partikel mikroplastik kini hadir tidak hanya di laut dan sungai, tetapi juga di udara yang kita hirup setiap hari.
Soal risiko mengonsumsi air hujan, Reza menekankan bahwa dampaknya tidak langsung membahayakan tubuh dalam jangka pendek.
Namun, ia tetap menyarankan masyarakat menghindari menelan air hujan, khususnya pada 30 menit pertama hujan turun.
Pada fase awal ini, hujan cenderung membawa partikel dari atmosfer sehingga kandungan polusinya jauh lebih tinggi.
Jika hujan berlangsung lebih dari satu jam, air akan relatif lebih bersih karena atmosfer sudah "tersapu" oleh curahan hujan.
Ia juga merekomendasikan agar masyarakat memeriksa kualitas udara (AQI) sebelum sengaja bermain hujan, karena ketika AQI buruk, peluang mikroplastik ikut turun bersama hujan menjadi lebih besar.
Baca Juga: Oman dan Indonesia Sepakat Bebas Visa untuk Tiga Paspor, Wamenlu Beri Penjelasan