Jamaah salat Jumat yang dimuliakan Allah,
Dalam ayat yang mulia dari surah Al Baqarah ayat 183, kata “tattaqun” menunjukkan sebuah proses yang berkelanjutan dari perilaku takwa. Terlalu sering kita memahami takwa sebagai pangkat atau gelar yang melekat pada diri orang yang berpuasa, padahal takwa seharusnya dipahami sebagai sebuah perjalanan, sebuah proses untuk terus-menerus membentuk diri kita menjadi orang yang bertakwa dengan penuh kesadaran.
Baca Juga: Jadwal Demo Hari Ini, Jumat 31 Oktober 2025: Ada 3 Aksi, Salah Satunya FPI Geruduk Kantor Komnas HAM
“Tattaqun” bukanlah sekadar identitas, tetapi sebuah panggilan untuk terus menghadirkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap langkah kita. Ini adalah proses yang terus-menerus, sebuah transformasi yang membutuhkan kesungguhan dan kejujuran dari dalam diri kita.
Kata “tattaqun” adalah fiil mudlari, menunjukkan kebutuhan akan konteks aktual sebuah pekerjaan, sebuah perbuatan yang terus menerus kita lakukan. Sementara “muttaqun” sebagai kata benda mengindikasikan kemapanan, sebagai hasil dari proses tersebut.
Oleh karena itu, saudara-saudara, mari kita pahami bahwa ibadah puasa Ramadan bukanlah sekadar rutinitas atau identitas, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang membutuhkan kesadaran, kejujuran, dan kesungguhan dari dalam diri kita. Marilah kita terus berusaha untuk meningkatkan takwa kita, untuk menjadi orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dalam setiap langkah kehidupan kita.
Jamaah salat Jumat yang dimuliakan Allah,
Perlu kita pahami bahwa “tattaqun” bukanlah sekadar pangkat, gelar, atau identitas, yang mungkin lebih dekat dengan kata “muttaqun”. “Tattaqun” menuntut aktualitas riil dari sebuah perbuatan takwa, sebuah proses yang terus-menerus kita jalani dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Dapat Pemangkasan Tarif Impor, China Tidak Lagi Batasi AS Beli Logam Tanah Jarang
Karenanya, bila selepas Ramadan tindak takwa tidak dilanjutkan, maka “la’allakum tattaqun” tidak akan didapat; sepadan dengan kembali ke kondisi sebelum Ramadan. Artinya, ibadah puasa Ramadan seharusnya tidak hanya menjadi puncak dari kebaikan kita, tetapi menjadi titik awal bagi sebuah perubahan yang berkelanjutan menuju kesadaran dan takwa yang lebih dalam.
Banyak di antara kita yang berbuat baik di bulan Ramadan, tetapi setelah bulan suci itu berakhir, tidak sedikit dari kaum muslimin kembali ke titik nol. Hal demikian menunjukkan bahwa kita belum meraih ketakwaan yang sejati.
Orang yang benar-benar bertakwa memiliki perisai diri yang kokoh. Mereka tidak akan terjerumus dalam perbuatan korupsi, kekerasan, penyimpangan, atau segala bentuk kerusakan di muka bumi. Mereka tidak akan mencari keuntungan semata, tidak tamak, dan tidak menyia-nyiakan mandat rakyat. Mereka yang bertakwa senantiasa peka dan tidak buta-tuli terhadap derita orang lain. Mereka menjadi pribadi yang selalu waspada dan menjauhkan diri dari segala bentuk kemunkaran.
Jamaah salat Jumat yang dimuliakan Allah,
Jika puasa diproyeksikan untuk meraih derajat takwa, maka marilah kita jadikan puasa sebagai mi’raj ruhaniah, yakni proses naik tangga ruhani ke puncak tertinggi kualitas manusia utama. Puasa bukanlah sekadar menahan lapar dan haus, tetapi lebih dalam dari itu, puasa adalah sebuah proses pembentukan karakter dan kesadaran yang mengantar kita kepada ketakwaan yang sejati.
Artikel Terkait
Naskah Khutbah Jumat 12 September 2025: Alasan Umat Islam Wajib Mencintai Nabi Muhammad SAW
Teks Khutbah Jumat 19 September 2025: Panduan Meraih Surga dengan Akhlak Mulia
Teks Khutbah Jumat 26 September 2025: Mengenal Adab Melayat Jenazah yang Sesuai Sunah
Khutbah Jumat 3 Oktober 2025, Ulama MUI Ingatkan Bahaya Bermedia Sosial untuk Integrasi Bangsa
Pesan Khutbah Jumat 10 Oktober 2025: Pentingnya Membiasakan Ibadah kepada Anak Sejak Dini