kontekstory

Kritik Itu Haram, Bisa Jadi Serangan dan Bui! Begini Cara Rezim Orba Menghukum Para Pengkritik

Minggu, 27 Agustus 2023 | 00:18 WIB
Kritik adalah serangan untuk pemerintah Orde Baru. (unimelb.edu.au)

KONTEKS.CO.ID -  Pemerintah Orde Baru (Orba) kerap kali menggunakan pasal penghinaan presiden untuk membungkam lawan politiknya. Kala itu, kritik adalah barang haram yang tabu untuk dilakukan.

Sejak awal Soeharto menjadi Presiden pada 1967, stabilitas nasional menjadi kata kunci. Soeharto sadar bahwa dia perlu suasana politik yang stabil untuk menjalankan pemerintahannya. Lebih penting dari itu, stabilitas perlu untuk mengamankan kekuasaannya.

JIka ada yang menghina Soeharto, rezim Orba akan melakukan berbagai cara untuk mengintimidasi, pencekalan, dan penjara.

Baca Juga: Kisah Kelam Isaac Newton, Jenius Sains yang Pernah Gagal dalam Investasi Saham

Pembangunan TMII, Awal Kritik ke Orba

Pada pengujung 1971, terjadi penolakan terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada pengujung 1971. Musababnya, Ibu Tien Soeharto mengumumkan rencana pembangunan sebuah taman besar sebagai representasi kebudayaan 26 provinsi di Indonesia. Pembangunan itu memakan biaya Rp10,5 miliar.

Ada dua alasan protes terhadap rezim Orba. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia tengah terpuruk. Kedua, pembangunan itu tidak sejalan dengan pidato Presiden daripada Soeharto yang menganjurkan hidup prihatin.

"Jangan melakukan pemborosan karena sebagian besar rakyat hidup miskin," ujar Soeharto mengutip dari koran Mahasiswa Indonesia edisi 5 Desember 1971. Soeharto juga menyebut perlunya skala prioritas dalam segala rencana pembangunan.

Baca Juga: Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin

Pernyataan Soeharto dan rencana Ibu Tien yang bertolak belakang ini yang membingungkan dan memicu protes masyarakat. Para pemrotes menilai rencana pembangunan TMII tidak berbeda dengan proyek mercusuar.

Suara yang menentang proyek pembangunan TMII berasal dari mahasiswa di Jakarta, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Medan.

Francois Raillon dalam buku "Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia" terbitan LP3ES pada 1985 menulis, para mahasiswa di Jakarta dan Bandung membuat berbagai gerakan ad hoc. Gerakan itu menggunakan nama lucu seperti  Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat.

Baca Juga: Lagu Malam Kudus, Lahir dari Letusan Gunung Tambora dan Orgel yang Rusak

Dua Cara Protes

Ada dua cara mahasiswa dalam menentang rencana Ibu Tien tersebut: diskusi dan aksi demonstrasi.

Gerakan Penghematan tercatat mendatangi kantor pemerintah terkait pembangunan TMII.  Sedangkan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat mendatangi kantor Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk "Sekretariat Pemborosan Uang Negara" pada 23 Desember 1971.

Saat aksi bentang spanduk belum usai, sekonyong-konyong muncul sekelompok orang dengan membawa senjata tajam dan menyerang pada demonstran. Satu orang pengunjuk rasa jatuh lunglai terkena bacokan dan.

Baca Juga: Mikhail Kalashnikov, Pencipta Senapan Serbu 'Sejuta umat' AK-47 yang Merasa Berdosa di Akhir Hidupnya

Di saat bersamaan, kaca kantor YHK pecah dan terdengar bunyi tembakan. Satu lagi demonstran roboh karena peluru bersarang di pahanya.

Ekses dari aksi kekerasan tersebut, gelombang protes mahasiswa semakin riuh. Mereka meminta pemerintah menimbang ulang pembangunan TMII. Sejumlah mahasiswa juga mendatangi rumah Ibu Tien di Jalan Cendana dan meminta dialog. Sayang aparat mengadang rencana itu dan berjanji menyampaikannya ke Ibu Tien.

Di Bandung, mahasiswa tidak melakukan aksi melainkan diskusi-diskusi bernas dengan menghadirkan berbagai tokoh. Seniman, intelektual, dan jurnalis top seperti WS Rendra, HJ Princen, dan Mochtar Lubis turun menentang pembangunan itu.

Baca Juga: Hukum di Masa Rezim Orba: Nestapa Sengkon Karta, Divonis Tanpa Bersalah Lalu Menderita Sampai Meninggal

Dalam buku "Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis Seri 1", Mochtar menulis di koran Indonesia Raya 13 Januari 1972, "Taufan-taufan protes terhadap proyek mini Indonesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita".

Kritik Mengganggu Stabilitas Nasional

Presiden daripada Soeharto pun bereaksi atas gelombang protes itu. Ia menilai aksi jalanan dan diskusi menentang pembangunan sudah tidak substantif dan keluar batas.

Ia menuding ada "Mr X "dengan tujuan lain di balik aksi protes pembangunan TMII. "Mereka mencari kesempatgan untuk mengganggu stabilitas nasional," ujarnya pada 6 Januari 1972 sebagaimana tertulis dalam buku "Soeharto: Pikiran, Ucapan, Tindakan Saya".

Baca Juga: Politik Identitas Rezim Orba Terhadap Umat Islam, Dari Penculikan Hingga Larangan Jilbab

Soeharto pun mengancam akan menghantam gerakan menentang TMII, terlebih jika gerakan itu berniat menggulingkan kekuasaannya.

Dua pekan kemudian, tepatnya pada 17 Januari 1972, Wakil Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro melarang semua aktivitas anti-TMII. Pemerintah menangkap sejumlah tokoh penting penentang seperti Arief Budiman dan HJ Princen.

Aksi penangkapan yang berujung penjara juga terjadi dalam peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974. Ini merupakan salah satu peristiwa kelam di masa rezim Orba.

Baca Juga: Pendisiplinan Kepala ala Rezim Orba, Dari Razia Rambut Gondrong Berujung Maut Hingga Tak Boleh Punya KTP

Protes Investasi Berpotensi Korupsi

Pada 15 Januari 1974. gabungan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum turun ke jalan yang berujung pada kerusuhan besar di Jakarta. Para pemrotes berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia. Mahasiswa melihat ada potensi membuka celah korupsi di pemerintah Orba.

Pada 14 Januari 1974, mahasiswa menyambut kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dengan melakukan demonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun, para demonstran tak bisa masuk lantaran penjagaan ketat dari aparat keamanan.

Keesokan harinya, mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Mahasiswa juga menuntut pembubaran lembaga Asisten Penasehat Pribadi (Aspri) Presiden daripada Soeharto.

Baca Juga: 160 Tahun Louis Vuitton, Brand Termahal di Dunia yang Berawal dari Koper Ciptaan Gelandangan

Menjelang sore hari, aksi demonstrasi mulai memanas dan berakhir ricuh. Terjadi sejumlah perusakan, pembakaran, dan penghancuran merek mobil Jepang.

Kerusuhan yang semula terjadi di Jalan Sudirman meluas hingga ke Senen. Massa menjara dan membakar pusat perbelanjaan itu. Sejumlah gedung pun terbakar. Aksi ini menjadi gong besar dari serangkaian kritik menentang pemerintah sejak awal tahun 1970.

Jumlah korban peristiwa Malari adalah 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, 750 orang ditangkap.

Baca Juga: Syarifah Nawawi, Kasih Tak Sampai Tan Malaka Sang Bapak Republik

Halaman:

Tags

Terkini