Baca Juga: Jarang Ada yang Tahu! Tiga Kota Ini Punya Penganut Agama Yahudi Terbesar di Indonesia
Pada suatu tanggal di bulan Agustus 1966, Widjojo Nitisastro bersama koleganya bertemu Presiden Soeharto di sebuah acara seminar militer.
Jenderal besar itu menanyakan kepada Widjojo dan yang lainnya, "Apa yang akan Anda lakukan jika memiliki kesempatan untuk mengubah ekonomi?"
Pada momen itu nampaknya Widjojo berhasil meyakinkan Soeharto bahwa dirinya bisa menjadikan ekonomi Indonesia lebih maju.
Baca Juga: Tradisi Mudik Ada Sejak Era Majapahit, Awalnya Tidak Terkait Idul Fitri
Dan memang omongannya memang benar adanya. Belakangan Widjojo berhasil mengantar Indonesia selamat dari hiperinflasi. Karena itu, dia tersebut sebagai arsitek perekonomian Orde Baru.
Pada 1971, Widjojo menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Posisi strategis yang tak pernah lepas hingga awal tahun 1980-an.
Sebagai informasi, pada masa Orde Baru, Bappenas berperan sangat penting dan krusial dalam menetapkan langkah-langkah pembangunan. Widjojo juga dikenal punya etos kerja yang tinggi dan berani mengambil keputusan.
Baca Juga: Semarak Lebaran di Era Kolonial Pernah Jadi Silang Sengketa Elite Belanda, Ini Penyebabnya
Konsep ekonomi Widjojo seringkali tersebut awak media sebagai Widjojonomics. Yakni, modernisasi sistem ekonomi yang mencakup pasar fiskal dan utang luar negeri. Harapannya akan melahirkan trickle down effect.
Konsep trickle down effect yang diadopsi dari Amerika itu adalah memberi kelonggaran pada orang kaya atau pemilik modal. Dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Swasembada Tapi Masih Impor
Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi melesat dan terpenting hiperinflasi berhasil terpangkas. Imbasnya, investasi asing mengucur deras dan pendapatan domestik bruto bergerak stabil.
Baca Juga: Kisah Receh Raja Intel Benny Moerdani Mengerjai Jenderal Tjokropranolo
Melalui kebijakan para ekonom inilah Indonesia memperoleh julukan Macan Asia. Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita yang dicanangkan Presiden Soeharto juga sukses.
Salah satu tanda kesuksesannya adalah pada 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Saat itu FAO, organisasi pangan PBB, memberi penghargaan kepada Presiden Soeharto.
FAO menilai Presiden daripada Soeharto berjasa dalam menyusun kebijakan sehingga Indonesia akhirnya berhasil mencapai swasembada pada 1984.
Baca Juga: Cerita Awal Tan Ek Tjoan: Asimilasi Lewat Setangkup Roti (2)
Sayangnya status itu tak bertahan lama. Memasuki dekade 90-an, Indonesia kembali mengimpor beras dari negara lain. Buruknya lagi, tahun 1995 ketergantungan terhadap impor beras semakin tak terbendung yakni hingga 3 juta ton.
Belakangan muncul data yang mengungkap saat berstatus swasembada pangan, ternyata ketika itu masih mengimpor beras.
“Dulu pada tanggal 10 November 1984 Indonesia berstatus swasembada pangan. Namun saat itu masih ada impor 414.000 ton,” kata Amran Sulaiman, Menteri Pertanian di periode pertama Jokowi berkuasa.
Baca Juga: Pembunuhan Johnny Mangi, Petrus, dan Teror Dahsyat Orde Baru ke Pers Indonesia
Ekonomi di Rezim Orba: Konsep Widjojonomics Gagal
Sampai akhirnya tersadari bahwa pencapaian ekonomi dengan pendekatan konsep Widjojononomics dan trickle down effect hanya menyentuh permukaan. Ini justru meninggalkan lubang besar setelahnya.
Keinginan Widjojo melibatkan negara dalam urusan ekonomi tidak dibarengi dengan penguatan institusi. Ini membuka ruang lebar munculnya praktik korupsi dan KKN oleh Soeharto dan kroni-kroninya.
Penulis dan ekonom Jonathan Temple dalam laporan Growing Into Trouble: Indonesia After 1966 menjelaskan sifat pemerintahan Soeharto yang hampir monarki.
Baca Juga: Gebrakan Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur DKI Kakek Bimbim Slank Bangun Perumahan Murah di Jakarta
Kondisi itu menciptakan lahirnya para pemburu rente maupun kroni kapitalis yang terdiri atas konco-konco dekat. Bahkan sampai pada anak-anaknya yang menguasai berbagai sektor ekonomi.
Cengkraman kuat Soeharto terhadap kekuasaan memungkinkan orang-orang dekatnya leluasa bertindak manipulatif demi kepentingannya.
Sementara itu, akademisi Michael T Rock dalam paper The Politics of Development Policy and Development Policy Reform in New Order Indonesia, mengakui para teknokrat seperti Widjojo mampu mengendalikan ekonomi di tataran makro. Misalnya, anggaran, kebijakan moneter, sampai nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Sejarah Sepak Bola: Awal Mula Dimainkan, Pernah Jadi Olahraga Terlarang, Kini Terpopuler di Bumi
Namun di tataran bawah atau di level ekonomi mikro, Soeharto dan kroni-kroninya yang berkuasa. Mereka mengontrol segala lini ekonomi mulai dari hutan minyak gas sampai infrastruktur.
KKN di Segala Lini
Michael T Rock menyebut, tak jarang mereka juga mengintervensi kebijakan perdagangan dan investasi. Akses pasar, alokasi kredit sampai kontrol atas kontrak yang pemerintah teken dengan sejumlah cukong keturunan China memperdagangkan sebagian dari keuntungan bisnis mereka untuk perlindungan politik.
Keluarga Soeharto juga terlibat dalam berbagai lini bisnis seperti perbankan, real estate, telekomunikasi, mobil nasional, jalan tol sampai pembangkit listrik.
Perlahan tapi pasti politisasi ekonomi yang Soeharto tempuh akhirnya berdampak pada korupsi kolusi dan nepotisme. Ini semakin memperburuk situasi di tengah krisis yang mengadang Indonesia pada akhir 90-an.
Salah satu program yang kental dengan KKN adalah Mobil Nasional alias Mobnas dengan merek Timor. Kehadiran merek tersebut terklaim sebagai keinginan pemerintah memiliki mobil nasional.
Untuk merealisasikan mimpi itu, Soeharto merilis Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996. Inpres memerintahkan Menperindag, Menkeu, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM mempercepat kehadiran mobil nasional dengan merek sendiri, produksi dalam negeri, dan menggunakan komponen buatan lokal.
Baca Juga: GANEFO, Olimpiade Ciptaan Soekarno yang Kontroversial, Bukti Ada Politik dalam Olahraga
Kemudian berdirilah PT Timur Putra Nasional (TPN) oleh putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Lalu TPN membuat mobil secara massal menggunakan merek Timor.
Terkendala, Presiden ke-2 RI meneken Perpres Nomor 42 Tahun 1996 yang menegaskan mobil nasional masih terkendala.