KONTEKS.CO.ID - Tahun 1950-an adalah era kelam di tubuh Angkatan Darat (AD) Republik Indonesia. Tak sedikit perwira TNI yang tersandung kasus penyelundupan, tetapi tak semua bernasib baik.
Jika banyak perwira lain yang lancar-lancar saja, karier Kolonel Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Tentara dan Teritorium 4 (cikal bakal Kodam Diponegoro) nyaris tamat di era tersebut.
Soeharto dalam buku ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’, mengakui diterpa isu sebagai "koruptor beras" yang memperkaya diri dari hasil barter gula.
Lebih dari sekadar isu, Soebandrio dalam buku ‘Kesaksianku tentang G-30S’ menyebut semua perwira saat itu mengetahui kasus tersebut.
Dalam pemeriksaan terungkap bahwa hasil penyelundupan itu disinyalir tidak sepenuhnya untuk kepentingan Kodam, melainkan kongkalikong masuk ke kantong Soeharto dan Liem Sioe Liong, yang memang sudah dekat dengan Soeharto.
Kasus ini sontak memantik amarah Kolonel Ahmad Yani, Deputi II Panglima Angkatan Darat yang juga berasal dari rumpun Diponegoro.
Puncak kegeraman terjadi ketika kasus ini sampai di telinga orang nomor satu AD, Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution.
Menurut M Yasin dalam memoarnya, Nasution berencana menghukum Soeharto dengan memecatnya dari TNI. Karier militernya berada di ujung tanduk.
Namun, rencana pemecatan itu tak pernah terlaksana. Bahkan beberapa tahun setelahnya ia malah menjadi orang paling berkuasa di negeri ini.
Sang Jenderal Penyelamat
Soeharto keburu diselamatkan tangan dingin seorang perwira tua yang suaranya cukup didengar di pucuk pimpinan AD. Ia adalah Mayor Jenderal Gatot Soebroto.
Soekarjo Wilarjito, pengawal Presiden Soekarno, dalam buku ‘Mereka Menodong Bung Karno’, menuliskan catatan, "Satu-satunya perwira yang tidak mencela Soeharto hanyalah Jenderal Gatot Soebroto."