kontekstory

Presiden Pakistan Zia Ul Haq dan Memori Pertempuran 10 November 1945, dari Kaget Mendengar Adzan hingga Pimpin Pembelotan Pasukan Gurkha

Minggu, 9 November 2025 | 11:52 WIB
Presiden Pakistan Muhammad Zia Ul Haq -tengah- pernah terlibat dalam perang di 10 November 1945 di Surabaya. (Foto: Indonesia-Pakistan)

KONTEKS.CO.ID – Saat Presiden Soeharto dan Ibu Tien berkunjung ke Pakistan di bulan Desember 1980, Presiden Zia Ul Haq tak sekadar menyambut dengan protokol kenegaraan. Ada satu hal yang menarik yaitu ia menyapa akrab dan penuh hormat kepada pemimpin Indonesia yaitu "My brother Soeharto and Ukhti Madame Soeharto."

Sebuah kalimat sederhana, namun mencerminkan kedekatan emosional yang lebih dalam dari sekadar hubungan antarkepala negara. Ada rasa hormat, ada kepercayaan, dan ada persaudaraan. 

Dua tahun setelahnya, dalam kunjungan kenegaraan selama lima hari di Indonesia pada November 1982,  ada lagi momen menarik. Saat pembicaraan empat mata, Presiden Pakistan  Zia Ul Haq  secara khusus meminta kepada Presiden Soeharto agar bisa berkunjung ke Surabaya.

Baca Juga: Tanpa Polisi Istimewa, Takkan Ada Hari Pahlawan: Menguak Peran M Jasin di Balik Pertempuran 10 November 1945

Tentu saja, sebagai sesama mantan komandan tempur, Soeharto mengizinkan. Kabarnya saat Soeharto mengiyakan keinginannya, wajah Zia Ul Haq menjadi sumringah alias berseri-seri. 

Usut punya usut, ternyata Indonesia - terutama kota Surabaya, bukan tempat yang asing bagi Zia Ul Haq.

Saat masih aktif di dinas militer Inggris, Zia pernah menjadi komandan pasukan Divisi Tank di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby dan terlibat dalam pertempuran di berbagai wilayah di Indonesia pada tahun 1945-1946.  

Neraka di 'Sarang Lebah'

Jadi ceritanya, Pertempuran Surabaya berawal dari kekalahan Jepang dari pasukan AS cs. Kekaisaran Jepang resmi menyerahkan diri kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, sekaligus tanda berakhirnya Perang Dunia II. Kaisar Hirohito mengumumkan sendiri penyerahan diri tersebut melalui siaran radio.

Baca Juga: Vespa Kongo, Jejak Keberanian Pasukan Garuda di Jalan Perdamaian Dunia

Kemudian pada 2 September 1945, dokumen kekalahan Jepang diteken secara resmi di Kapal Perang USS Missouri di Teluk Tokyo.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat, wilayah jajahan Kekaisaran di Hindia Belanda (NEI) dipindahkan dari Komando Pasifik Barat Daya pimpinan Jenderal Douglas MacArthur ke Komando Asia Tenggara (SEAC) pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten di Singapura. Tugasnya memulihkan ketertiban di Asia Tenggara.

Lord Mountbatten yang bangsawan Inggris ini terkejut dengan pengalihan tersebut. Terlebih ia buta informasi sosial-politik yang berhubungan dengan Pulau Jawa.

Kemudian pada 8 September 1945, tujuh perwira Sekutu yang dipimpin Mayor AG Greenhalg mendarat dengan parasut di Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta.

Mereka merupakan anggota dari misi Sekutu yang bertugas untuk melaporkan keadaan di Indonesia kepada SEAC.

Baca Juga: Mengenang Kosasih Kartadiredja, Wasit Indonesia Pertama Berlisensi FIFA yang Anti Suap dan Match Fixing Meski Hidup Pas-pasan

Halaman:

Tags

Terkini